Artikel Introspeksi

Inspirasi dari Alam untuk Introspeksi Diri

Saturday, May 14, 2005

Introspeksi 2007-2008

Daftar Isi:
  1. Introspeksi Paku dimuat di BVD Sept 2007
  2. Introspeksi Lebah & Bunga dimuat di BVD Agustus 2007
  3. Introspeksi Pesawat Terbang di BVD Juli 2007
  4. Introspeksi Jarum Suntik dimuat di BVD Juni 2007
  5. Introspeksi Api dimuat di BVD Mei 2007 (Maret dan April BVD tidak terbit)
  6. Introspeksi Amplop dimuat di BVD Januari-Februari 2007

Banyak artikel Introspeksi yang belum sempat di upload ke blog ini. Bila ingin baca yang terbaru, sementara bisa berkunjung ke:

www.bvd-cyber.blogspot.com





*************************

Paku

Irit atau pelit, tergantung dari sisi mana kita memandang. Kalau hal tersebut dilakukan orang yang kurang/ tidak kita sukai, kita cenderung memberi label pelit. Sebaliknya jika hal itu dilakukan orang yang kita sukai, dengan semangat kita memberi sebutan irit. Begitu sebuah pendapat yang pernah penulis baca. Dalam kisah yang akan penulis sajikan ini, penulis serahkan kepada Anda untuk menilai.

Ini kisah tentang tetangga di kota kelahiran penulis (sekitar 25 tahun yang lalu). Cerita ini penulis dengar dari Mama. Keluarga ini (sebut saja DJ), terkenal sangat hemat. Anda mungkin tidak percaya (termasuk penulis yang saat itu masih SD). Saat membangun rumah merangkap toko (ruko) yang mereka tempati, 1 batang paku pun tidak pernah mereka beli. Bahan bangunan lain tentu mereka beli, tapi paku tidak!

Saat itu, penulis juga tidak percaya. Sampai suatu ketika, penulis mendapat kesempatan “magang” di toko mereka. Sebelum pergi sekolah (kalau masuk siang), atau sepulang sekolah (kalau masuk pagi), penulis diperbantukan di toko DJ. Bukan untuk membantu orang tua mencari nafkah, tapi lebih untuk memisahkan penulis dengan adik penulis (yang kalau bertemu sering berantem), dan “menimba ilmu” dari keluarga superhemat yang sering disebut-sebut Mama untuk kami teladani. Dapat gaji? Seingat penulis tidak, hanya dapat makan (yang menurut ukuran penulis sangat sederhana). Atau kadang-kadang dapat hadiah, yang umumnya bukan mereka beli, tapi didapat dari produk sponsor barang yang mereka jual. Kalau dapat buku tulis misalnya, pasti ada tulisan atau gambar produk obat (mereka memang berdagang obat-obatan, tapi bukan apotek).

Setelah magang, penulis baru percaya tentang pembangunan ruko tanpa pernah membeli paku. Dari mana asal paku tersebut? Anda pernah lihat paket yang dikirim dengan kotak dari kayu? Kalau sekarang mungkin mirip kotak/ peti yang berisi jeruk. Setiap menerima paket dalam bentuk seperti ini, semua paku yang tertancap di kotak dilepas dari papan kemudian diluruskan dengan palu (dipukul-pukul perlahan agar paku yang bengkok lurus kembali). Semua paku disimpan. Tabungan paku inilah yang mereka gunakan saat membangun ruko!

Jajan? Selama penulis magang di sana, boleh dikatakan tidak pernah jajan. Mereka hanya makan nasi (sarapan, makan siang, makan malam). Lauk pun tidak banyak, paling 1 atau 2 macam, dan tentu saja masakan sendiri. Tahu goreng dimakan dengan kecap yang diberi irisan cabe rawit, sayur bening, dan sejenisnya. Anak DJ, cowok (lebih kecil dari penulis) bersekolah di sekolah yang sama dengan penulis. Jajan di sekolah? Tidak ada dalam kamusnya (kayaknya tak pernah diberi uang jajan). Pakaian juga sederhana (dijahit sendiri oleh ortu). Sepatu, sandal, dan perabot di rumah, semua serba sederhana. Tapi anehnya, anak mereka (penulis lupa mereka berapa bersaudara), semuanya pintar-pintar. Prestasi sekolah mereka bagus-bagus.

Hemat yang lain? Dalam setiap kemasan obat, umumnya ada kertas berisi keterangan di dalamnya (khasiat, komposisi, dosis, dan lain-lain). Untuk obat yang sudah umum (sakit kepala, batuk, flu,…) kertas ini dikeluarkan dari kotaknya. Untuk apa? Dijadikan kertas pembungkus. Pernah lihat produk misalnya saja cairan pembasmi nyamuk yang memberi hadiah kepada konsumen? Pemberitahuan tentang hadiah hanya berupa stiker di kemasan produk (bukan tercetak di produk). Stiker dikelupas, lalu dipotong menjadi kecil-kecil. Untuk apa? Stiker ini dijadikan semacam isolasi/ selotip untuk merekatkan kertas saat membungkus. Jadi hemat karet gelang. Hadiah produk? Dipakai sendiri atau dijual.

Anda tentu tahu kardus? Kardus direndam dan ini bisa terkelupas jadi 3 bagian. Bagian atas dan bawah yang rata diambil dan dikeringkan untuk dijadikan kertas pembungkus. Sedangkan yang tengah (yang bergelombang seperti bentuk seng) dibuang. Apa alasan Anda minta bungkus bila membeli sesuatu di toko/ warung? Katakanlah Anda membeli sirup obat batuk atau tablet sakit kepala. Setahu penulis, agar tidak terlihat orang saat kita bawa pulang. Hampir pasti bukan takut kena debu karena obat yang kita beli masih dalam kemasan yang tertutup rapat. Dan… seumur hidup penulis, belum pernah melihat barang yang dibeli dibungkus dengan plastik bening, selain di toko DJ, tempat penulis magang.

Dari mana plastik bening ini? Misalkan produk jamu, dari pabriknya, tiap 10 bungkus jamu dikemas dalam 1 kantong plastik bening (bukan kresek lho…). Plastik bekas jamu dan obat lain dikumpulkan. Kemudian kantong plastik ini dibelah (dipotong 1 sisinya dan bagian bawahnya, sehingga berbentuk selembar plastik alias tak berbentuk kantong lagi). Plastik inilah digunakan untuk membungkus seperti halnya kertas.

Itu baru sebagian jurus hemat mereka. Pelit atau irit, terserah Anda menilai. Meskipun hanya sedikit, ada ilmu mereka yang bisa penulis terapkan dalam kehidupan hingga sekarang. Memang tidak banyak yang bisa (boleh) ditiru karena jaman telah berubah. Hidup tanpa TV, hanya makan nasi tanpa jajan, dan beberapa hal lain, “tidak pas” lagi diterapkan penulis (yang hidup sebagai seorang perumah tangga) di jaman sekarang.


*************************

Lebah & Bunga

Menjelang tidur, Dhika sering meminta penulis “mendongeng.” Tidak semua yang penulis ceritakan adalah dongeng atau legenda yang sudah populer. Dan… kalau sudah kehabisan stok cerita, apa saja bisa jadi cerita. Kadang tingkah lakunya yang kurang baik dijadikan tema. Tentu saja dengan tokoh binatang agar Dhika tidak merasa sedang disindir. Atau pengetahuan sederhana lain yang mendidik.

Kali ini penulis bercerita tentang simbiosis (kerja sama saling menguntungkan) yang terjadi antara lebah & bunga. Intinya adalah lebah mendapatkan makanan, bunga terbantu proses penyerbukannya. Bahkan madu yang dihasilkan lebah sangat berguna bagi manusia.

Pada skala lebih besar, kita (manusia) sepatutnya meneladani interaksi lebah dan bunga, dalam kehidupan sehari-hari. Kita boleh mengambil hasil alam tanpa harus merusaknya. Bukan seperti kasus pembalakan liar yang membawa banyak bencana. Ada yang ditebang, harus ada yang ditanam untuk menggantikannya, meskipun sebenarnya sekian tahun ke depan baru tergantikan. Bukan hanya di hutan saja, di dalam kota juga seharusnya dilakukan hal sama. Pohon yang ditanam di tepi jalan untuk peneduh dan paru-paru kota, harus ada regenerasi. Ada yang ditebang karena sudah tua, harus ada penanaman kembali.

Seorang rekan di Denpasar, Bali tersentuh dengan sepak terjang Green Peace dalam melindungi bumi dan isinya. Namun karena berbagai keterbatasan, dia tak mungkin bisa bergabung bersama pasukan penyelamat lingkungan, Green Peace. Tapi banyak hal kecil yang bisa dilakukan sebagai wujud cinta pada lingkungan. Misalkan saja tidak membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik yang sukar diurai oleh tanah. Setiap membeli benda kecil, ia tidak akan meminta kantong kresek untuk membawanya. Ia tak mau menambah jumlah sampah plastik. Kantong plastik pembungkus bekas pakai yang masih bagus, akan dilipat untuk kelak digunakan kembali. Ia akan meminimalisir penggunaan kantong plastik. Untuk kertas pun dia melakukan penghematan. Kertas bekas kalender harian tidak langsung dibuang. Kertas ini dipakai untuk mencatat (dia seorang penulis) . Anda tentu tahu, kertas dibuat dari pohon. Hemat kertas, juga mengurangi penebangan pohon. Hemat bagi kantong, baik bagi lingkungan. Ini sebuah usaha kecil yang sepantasnya kita tiru demi kelestarian lingkungan kita, seperti halnya kita meneladani lebah dan bunga.



*************************

Pesawat Terbang

Awal tahun 2007 ini, berita di media cetak dan elektronik dipenuhi berita kecelakaan transportasi. Kereta api api anjlok, pesawat Adam Air jatuh, kapal Senopati Nusantara tenggelam, kapal Levina I terbakar lalu tenggelam. Alat transportasi darat, udara, dan laut mengalami kecelakaan. Komplit sudah.

Apa penyebabnya? Usia tua. Kebanyakan alat transportasi di negerti tercinta ini, sudah uzur. Kalau diibaratkan manusia, mungkin sudah harus pensiun, duduk santai di rumah, main dengan cucu. Sebenarnya, faktor usia tua tidak berdiri sendiri. Ada faktor lain penyebab musibah transportasi ini. Ada yang bilang tidak disiplin (bisa penumpang, bisa pula pengurus/ pengelola sarana transportasi tersebut). Faktor lain? Ujungnya, lagi-lagi masalah mental korupsi.

Alat transportasi yang tak layak jalan, terbukti masih boleh beroperasi. Pada kapal laut, jumlah penumpang yang ada di kapal dan yang tercatat, tidak sama. Penumpang di kapal, jauh lebih banyak daripada yang tercatat (batas maksimum yang diperbolehkan). Bagaimana “penumpang gelap” ini bisa masuk kapal? Kalau terjadi kecelakaan? Jumlah pelampung dan perahu penyelamat tentu tidak seimbang dengan jumlah penumpang.

Pesawat terbang? Masih jadi misteri karena kotak hitam (yang warna sebenarnya orange), belum bisa diambil untuk diselidiki. Kereta api, karena usia tua dan kurang terawat (baik kondisi kereta maupun rel-nya).

Secara guyon, orang memberikan urutan darat, laut, dan udara. Laik jalan dan prosedur keselamatan di darat penting, di laut lebih penting, dan di udara paling penting. Di darat (misalkan mobil), rem kurang berfungsi dengan baik, mobil masih bisa dijalankan secara perlahan. Dalam perjalanan, kalau keadaan darurat (jalan licin karena hujan), masih bisa berhenti untuk memperbaiki rem atau tidak melanjutkan perjalanan. Kapal laut, kalau mati mesin atau kapal bocor, masih “butuh waktu” untuk tenggelam, masih bisa kontak untuk minta bantuan. Kalau pun kapal mulai tenggelam, bantuan belum datang, penumpang bisa memakai pelampung dan melompat atau berpegangan pada benda lain yang terapung atau berenang. Pesawat terbang, kalau mesin mati? Hanya dalam waktu beberapa detik (atau menit?) untuk tiba di bumi. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan dalam waktu sesingkat ini. Apalagi kita tahu, tidak ada manusia yang bisa terbang.

Keselamatan penumpang, haruslah jadi prioritas utama. Jadi semua pihak yang terlibat dalam urusan transportasi harus disiplin. Lakukan perawatan rutin, cek kendaraan sebelum berangkat, jangan biarkan sedikit “uang pelicin” dari penumpang agar lolos tanpa tiket, yang pada akhirnya berbahaya bagi penumpang secara keseluruhan. Berapa pun uang santunan yang diberikan kepada keluarga korban, tidak akan cukup untuk mengganti duka mereka yang kehilangan anggota keluarganya.

Kita tahu, masih banyak sekali “pekerjaan rumah” di negeri ini yang masih harus diperbaiki. Tapi, haruskah selalu ada korban jiwa dalam jumlah besar dulu, baru kita perbaiki?


Note:

Introspeksi ini ditulis untuk BVD Maret 2007, tapi karena edisi Maret tidak jadi terbit, dikirim untuk BVD Juli 2007.


*************************

Jarum Suntik


Saat penulis masih kanak-kanak, mendengar kata dokter, sudah terbayang jarum suntik. Bagaimana tidak, setiap sakit, ke dokter, hasilnya pasti disuntik dan diharuskan meminum sejumlah obat. Untung saja tidak sering sakit, jadi agak jarang bertemu dokter.

Sekarang, kunjungan ke dokter (membawa anak ke dokter), tidak sama dengan dulu. Sekarang, pasien hampir tidak pernah disuntik. Bertemu dokter hanya konsultasi, diberi resep, beli di apotek, berikan pada anak. Jarum suntik hanya terlihat kalau anak diimunisasi. Itu pun sekali pakai langsung buang. Beda sekali dengan dulu, jarum suntik dipakai berulang-ulang (tentu saja setelah melalui proses sterilisasi). Hal ini sangat berkaitan dengan masalah penularan penyakit lewat jarum suntik, terutama HIV dan AIDS. Jangan sampai tertular pasien tertular HIV dan AIDS karena penggunaan jarum suntik yang tidak steril.

Sekarang, kalau mendengar jarum suntik, yang terbayang di benak penulis bukan lagi dokter, tapi pengguna narkoba. Salah satu cara penggunaan narkoba, dilakukan dengan suntikan. Kalau sudah termasuk dalam kelompok ini, rasio sudah tidak dipakai lagi. Kalau sudah ketagihan (sakaw), berapa pun harganya, bagaimana pun cara mendapatkannya, atau sterilkah jarum suntik yang dipakai, tidak lagi terpikirkan. Yang penting bisa dapat dan menghilangkan sakaw-nya. Putaw yang kumau” begitu prinsip mereka, mirip iklan minuman ringan.

Penggunaan jarum suntik bekas pakai dan tidak steril adalah salah satu sarana penularan HIV dan AIDS, di samping seks bebas. Dua hal yang jelas-jelas menjadi hal yang semestinya dihindari oleh umat Buddha. Penggunaan narkoba melanggar sila ke-5, dan seks bebas tentu tidak sesuai dengan sila ke-3 dari Pancasila Buddhis.

Seorang mantan murid les privat penulis, adalah pecandu narkoba. Sungguh berat perjuangan dia sendiri dan orang tuanya agar dia bisa lepas dari jerat narkoba. Untunglah sekarang dia telah bersih dan sering diminta untuk sharing pengalamannya agar orang lain tidak terjerat.

Sebagai Buddhis, sudah selayaknya kita tidak termasuk dalam daftar panjang korban narkoba. Sudah sangat banyak korban yang jatuh, jangan kita tambah lagi. Mudah-mudahan kita semua tidak akan pernah termasuk dalam kelompok ini dan menjadi lebih peduli dengan keadaan sekeliling kita agar orang-orang terdekat kita tidak jadi korban narkoba.


Note:

Buat YF alias M, semoga sharing pengalamanmu menyadarkan teman-teman agar tidak jatuh ke lubang yang sama.


*************************

Api


Komputer plus fasilitas internet memang mengasyikkan. Kalau sudah duduk di depan komputer, penulis tahan berlama-lama. Dulu, saat masih jomblo (bujangan), kalau tidak bisa tidur, selain buku dan acara TV, komputer-lah teman setia penulis. Iseng saja menulis (menuangkan segala ide atau apa saja yang terlintas di pikiran), atau bisa juga membuka arsip lama.

Penulis termasuk dalam kelompok orang yang gaptek (gagap teknologi). Dulu (awal kenal komputer) hanya bisa WS (Word Star), kalau sekarang MS Word. Lumayanlah kalau sekedar mengetik. Internet? Tadinya tidak tahu… Tapi perlahan-lahan dipaksa tahu karena perkembangan jaman yang makin maju, memaksa penulis untuk tahu (biar tidak ketinggalan jaman).

Perkenalan pertama, punya email (dibuatkan teman). Lalu mulai surfing (juga diajar teman saat main ke warnet). Sekarang makin gemar utak-atik internet setelah tahu ada web log (blog), fasilitas situs secara gratis. Sekarang, jumlah blog penulis sudah mencapai angka 60 buah dan terus akan bertambah. Beruntunglah penulis, sepanjang proses belajar ini, ada saja teman (baik dekat, maupun yang jauh: luar kota bahkan di luar negeri) yang bersedia jadi “guru” gratis. Apa saja permasalahan yang dialami, bisa ditanyakan via email. Dengan senang hati, teman-teman penulis menjawabnya. Transfer ilmu terjadi tanpa kendala jarak.

Tadi penulis membaca kembali arsip tulisan berjudul “Jadilah Pelita” (dari Illuminata-nya www.ehipassiko.net). Ilmu memang sangat berbeda dengan benda/ barang lain. Bila benda lain yang bila dibagi, jumlah benda tersebut akan berkurang. Misalkan Anda punya 3 potong kue, 1 dibagikan kepada teman, maka akan tersisa 2 di tangan Anda. Lain halnya pada ilmu, ilmu dibagi, pemiliknya makin berilmu. Ini yang sering dikatakan guru penulis (saat SD). Bila besok akan mengajar, maka hari ini pak guru akan membaca kembali materi yang akan diajarkan esok. Bahkan membaca buku penunjang lain, agar selalu siap bila ada murid yang bertanya. Bahkan, kalau saat mengajar, ada pertanyaan yang belum terjawab, pak guru akan berusaha mencari jawabannya agar di pertemuan yang akan datang, beliau bisa menjawabnya.

Bukankah ini artinya ilmu pak guru akan semakin banyak, meski beliau terus membagikan ilmunya? Ini dapat diibaratkan api. Berikut penulis kutip bagian akhir tulisan “Jadilah Pelita.” “Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup…” Hal ini juga sedang coba penulis lakukan dengan membuat banyak blog, berbagi ilmu. Apa data dan ilmu yang penulis miliki, penulis bagikan lewat blog yang bisa dikunjungi siapa saja. Semoga saja bermanfaat bagi banyak orang. Mari bersama-sama kita teladani sifat api ini.


*************************

Amplop


Amplop, kertas surat, dan pena, tiga benda ini pernah menjadi “teman akrab” penulis, saat gemar korespondensi. Dalam 1 minggu hampir pasti ada surat yang penulis terima atau penulis kirim. Sahabat pena penulis tersebar dari kota Sabang sampai Ujung Pandang. Untuk yang di luar negeri, ada yang di Singapura, Mesir dan Jerman Timur. Sekarang kegiatan tersebut tergantikan dan tetap berlanjut di dunia maya, lewat email.

Belum tahu, apakah seiring kemajuan teknologi, penggunaan amplop cenderung menurun. Untuk korespondensi, sekarang lebih praktis dan cepat via internet (email) dan HP (SMS). Berita yang dikirim sampai dalam hitungan detik (bukan dalam hitungan jam atau hari).

Namun dalam makna kiasan, amplop (uang pelicin) tetap dipakai, meski praktiknya juga sudah tergantikan dengan transfer ke rekening.

Setiap bicara soal amplop (uang pelicin) di negeri ini, sepertinya tidak pernah ada habisnya. Ada saja kasus baru yang muncul ke permukaan. Hampir tak ada tempat yang bersih dari urusan amplop ini. Sekali pun di departemen agama, yang semestinya dan seharusnya tidak boleh terjadi.

Anda kasih uang lebih (di luar peraturan/ tarif yang berlaku), Anda akan dapat perlakuan istimewa. Pekerjaan akan lebih cepat selesai, urusan jadi lancar, proyek bisa goal, dan dilayani dengan wajah penuh senyum.

Di tengah maraknya praktik per-amplop-an, penulis tertegun saat menghadapi kenyataan lain. Sudah menjadi hal lumrah (dan menurut penulis, ini bukan kasus penyelewengan), bila kita memberi uang sebagai ucapan terima kasih. Misalnya mobil Anda mogok, lalu tanpa diminta, ada yang bantu mendorong. Tidak salah bila Anda memberi uang kepada orang yang membantu. Umumnya, mereka akan menerima. Di salon (selesai potong rambut), di restoran/ café (setelah bayar bill), setelah service rutin motor/ mobil, dan di banyak tempat lain. Tidak ada peraturan bahwa Anda harus memberi uang. Tapi karena sudah terbiasa dengan hal semacam ini, kalau Anda tidak memberi uang (tip), kedatangan Anda berikutnya, terkadang service-nya tidak akan sebagus seperti saat pertama kali Anda datang.

Sekitar 2 tahun lalu, penulis membawa magic com (rice cooker) yang bermasalah. Tidak rusak, tapi ada bagian keropos dan pecah (magic com masih berfungsi dengan baik). Setiba di service center, penulis menyampaikan permasalahannya. Keluhan langsung ditanggapi. Ada spare part yang harus diganti. Petugas menyodorkan map berisi daftar harga spare part. “Ya, ganti saja” kata penulis.

Penulis perhatikan di ruangan kantor tersebut terpasang tulisan: Karyawan dilarang menerima uang dari konsumen selain harga spare part. Ah… yang bener nih?” pikir penulis.

Setelah selesai, petugas menyerahkan magic com, spare part lama, dan nota berisi nama spare part dan harganya. Penulis membayar dengan uang pas, lalu memberikan uang lebih (tip). Bahasa pasarannya, “uang rokok” kepada petugas tadi. “Tidak Pak, hanya uang spare part saja” katanya. “Nggak apa, ini uang rokok dari saya” balas penulis. “Tidak Pak, terima kasih” jawabnya lagi. “Terima kasih Mas” akhirnya penulis menyerah.

Wow… ternyata apa yang tertulis di dinding kantor perusahaan Korea ini benar adanya. Biasanya hanya slogan saja, seperti yang sering penulis temukan. Terpampang tulisan “Dilarang melalui calo”, padahal “orang dalam” berkeliaran di sana sebagai calo. Dan tentu saja petugas di sana pun tahu mereka itu calo, tapi kalau mereka yang mengurus tetap dilayani, malah lebih mudah.

Semoga saja, banyak petugas/ karyawan di instansi/ perusahaan lain yang terinspirasi dengan tindakan karyawan di perusahaan Korea ini. Melayani dengan tulus, tanpa pandang: apakah konsumen tersebut akan memberikan tip atau tidak.

*************************