Artikel Introspeksi

Inspirasi dari Alam untuk Introspeksi Diri

Thursday, May 12, 2005

Introspeksi 2003-2004

Daftar Isi:

  1. Introspeksi Dadu dimuat di BVD Juni 2004
  2. Introspeksi Bayi dimuat di BVD Januari 2004
  3. Introspeksi Serigala dimuat di BVD Oktober 2003
  4. Introspeksi Baut & Mur dimuat di BVD Mei 2003


*************************

Dadu

Judi, mungkin itu yang terbayang di benak Anda saat melihat gambar di atas. Ya, memang itu yang ingin penulis bahas kali ini. Meskipun dadu tidak selalu untuk berjudi, bisa sebagai perlengkapan permainan ular tangga, monopoli,…

Judi adalah penyakit masyarakat yang sangat sulit diberantas. Mengapa? Karena judi menjanjikan mimpi-mimpi indah meski lebih sering berakhir duka. Judi merupakan cara cepat meraih keinginan tanpa harus kerja keras. Modal kecil, hasil besar… dan berbagai “promosi” lain sehingga banyak orang yang terbujuk.

Adalah hal yang wajar bila semua orang punya cita-cita, harapan, keinginan, mimpi,… yang ingin dicapai. Hanya saja, untuk meraih semua itu kita semua harus kerja keras dan doa (ora et labora), bukan mencari jalan pintas yang tak sesuai dengan Dhamma.

Penulis jadi teringat kata orang bijak, “Bila ingin mimpi jadi kenyataan, lebih seringlah terjaga daripada tertidur.” Itu artinya kita harus lebih banyak bekerja daripada tidur. Bukan lebih banyak tidur, banyak mimpi, kemudian membuka buku mimpi untuk menafsirkan arti mimpi ke dalam angka yang akan dipasang ke togel (toto gelap).

Bagi yang bermental judi atau gila judi/ judimania, apa saja bisa dijadikan judi. Ada dadu, judi pakai dadu. Ada kartu, bisa bermain kartu. Waktu ada PORKAS (plesetannya: Peras Otak Rencana Kaya Akhirnya Sinting), ya pasang Porkas. Begitu juga ketika berganti nama menjadi TSSB, KSOB, SDSB,… dsb. Semua undian itu tidak ada? Masih banyak yang bisa dijadikan judi. Skor pertandingan sepak bola misalnya. Juga menang, kalah atau seri-nya pertandingan tinju. Penggila judi punya sejuta satu akal untuk berjudi. Ada 2 permainan judi lain sebagai contoh betapa “kreatifnya” judimania ini.

Saat kuliah, ada rekan penulis yang suka judi. Di sela-sela istrirahat kuliah, mereka tetap bisa berjudi. Bagaimana caranya? Ambil uang kertas dari dalam saku (genggam), kemudian tanya lawan main, “Genap atau ganjil?” Kalau lawan main menebak dengan benar angka terakhir nomor seri uang itu, uang dalam genggaman jadi miliknya. Sebaliknya bila salah, ia harus membayar uang sejumlah uang dalam genggaman itu.

Saat masih bekerja di perusahaan tekstil, penulis menjumpai permainan sejenis. Di sela-sela jam istirahat mereka kumpul di dekat pos satpam (dekat gerbang masuk). Terlebih dulu mereka berjanji, berapa besar taruhannya (misalnya sekali main Rp 500), lalu yang dipakai taruhan adalah motor bukan mobil. “Motor yang akan lewat berikut ini, angka terakhir nomor polisinya genap atau ganjil?” Seorang memilih genap, seorang lagi ganjil, jadilah judi.

Kita semua tahu judi dilarang oleh agama dan negara, juga bertentangan dengan norma di masyarakat. Kita juga tahu sangat banyak akibat buruk yang ditimbulkan dari judi. Tapi, sebenarnya seberapa bahayanya sih judi itu? Satu ceramah Dhamma yang pernah penulis dengar mungkin bisa jadi gambaran bagi pembaca.

Bhante mengatakan judi sangat berbahaya. “Anda akan bertanya, mengapa? Begini, Anda pernah kecopetan?” tanya Bhante. “Pernah” jawab seorang umat. “Apa saja yang hilang?” tanya Bhante. “Dompet yang berisi uang, kartu ATM, KTP, SIM,…” jawab umat tersebut. “HP Anda hilang? Uang receh Anda hilang” tanya Bhante. “Tidak, Bhante. HP dan uang receh tidak hilang karena saya simpan di kantong depan” jawab umat. “Ada yang rumahnya pernah kebanjiran?” tanya Bhante. “Ada, Bhante” jawab umat lain. “Apa saja yang rusak atau hilang?” tanya Bhante. “Kulkas, TV, dan peralatan elektronik lain rusak. Kucing saya juga mati” jawab umat. “Tidak semuanya rusak atau hilang ‘kan? Lemari, meja, kursi,… masih ada dan masih bisa dipakai ‘kan?” tanya Bhante. “Ya” jawab umat. “Ada yang rumahnya pernah kebakaran?” tanya Bhante. “Ada, Bhante. Semua harta kami habis terbakar” jawab umat. “Saat semua penghuni rumah menyelamatkan diri, mereka semua berpakaian ‘kan?” tanya Bhante. “Ya, Bhante” jawab umat. “Setidaknya kamu masih punya harta berupa pakaian yang melekat di badan. Kalau rumah itu milik kalian, meski habis terbakar, setidaknya kalian masih memiliki tanahnya” terang Bhante. Coba lihat orang yang kalah judi. Semua harta habis terjual. Bahkan karena kalah judi dan terlibat hutang, bisa jadi rumah yang sedang ditempati beserta isinya akan disita orang. Pakaian yang melekat di badan pun bisa jadi akan diambil orang untuk melunasi hutang. Bahkan gaji bulan depan pun sudah bukan miliknya. Juga tidak sedikit yang mewariskan hutang ke anaknya” Bhante menjelaskan. Bisa Anda bayangkan?



*************************

Bayi

Raut wajah gelisah sambil mondar-mandir di depan ruang bersalin adalah adegan yang biasa ditampilkan di layar kaca untuk menggambarkan kegelisahan seorang calon ayah. Begitu pintu terbuka, sang calon ayah segera menyerbu. “Selamat, anak bapak laki-laki, sehat. Istri bapak juga sehat.” Sebaris kalimat dari dokter itulah yang akan meredakan kegelisahan sang calon ayah. Itu pula yang penulis alami akhir Desember 2003. Suka cita tak terhingga, ketika proses persalinan berjalan lancar, dan sang buah hati lahir dengan kondisi sehat serta tak kurang suatu apa pun.

Di antara makhluk hidup (tumbuhan, hewan, dan manusia), tentu manusia-lah yang merasa dirinya paling hebat. Paling jago, paling kuat,…. Tapi ketika melihat kemampuan seorang bayi yang baru dilahirkan (juga kondisi sang ibu yang baru melahirkan), kita akan kembali bertanya. “Apa benar manusia sehebat itu?” Perhatikan seekor anak ayam yang baru menetas dari telurnya. Hanya beberapa menit kemudian ia sudah bisa berjalan, dan mematuk makanan sendiri (tanpa perlu disuap). Begitu juga pada hewan lain, kambing misalnya. Dalam hitungan menit, anak kambing sudah bisa berdiri, berjalan, dan langsung menyusu pada induknya. Begitu pula induk kambing yang bisa melahirkan sendiri tanpa bantuan kambing lain dan langsung dapat melakukan aktivitas rutinnya.

Sementara bayi manusia, hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Sang ibu yang dibantu dokter dan para bidan, masih terbaring lemah berhari-hari setelah melahirkan. Secara fisik, kita memang jauh lebih lemah daripada hewan. Hanya akal yang membuat kita jadi punya kemampuan super dan hebat. Tapi sering kali terjadi, manusia bertindak “semau gue” tanpa pikir panjang sehingga perbuatan manusia tak bedanya dengan binatang (baca: hewan). Lihat saja tayangan berita kriminal: kasus incest/ hubungan sedarah (ayah memperkosa anak kandung), membunuh hanya karena masalah sepele, mencuri,…. (dan segala bentuk pelanggaran sila).

Apalagi pelajaran yang bisa kita petik dari seorang bayi? Bukan cuma lemahnya kemampuan fisik manusia. Tapi juga ketergantungan (betapa besar hutang jasa sang bayi) kepada orang tua yang merawatnya. Dulu, ketika belum mengalaminya sendiri, hal ini sering terabaikan. Gampang sekali emosi kepada orang tua (marah) dan membantah nasehat mereka. Padahal, besar sekali pengorbanan mereka dan rasa sayang mereka pada kita. Meski tak mengalami hamil (karena penulis laki-laki) tapi penulis bisa melihat betapa menderitanya istri yang hamil. Mual, muntah-muntah, tidur tak nyaman karena perut yang membesar, dan lain-lain. Juga perjuangan antara hidup dan mati ketika melahirkan. Selesaikah beban mereka setelah sang bayi lahir? Belum! Ini justru “beban” (pengorbanan lain) baru dimulai. Setiap malam, berkali-kali mereka terjaga dari tidur karena tangis sang buah hati. Hanya satu bahasa yang dikuasai bayi, menangis. Lapar/ haus, buang air kecil, buang air besar, sakit,… semua hanya dibahasakan lewat tangisan. Meski lelah, capek,… mereka lakukan itu semua karena mereka sayang pada kita. Tinggal kita sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya karena memiliki akal untuk berpikir…..



Note: Selamat datang buah hati kami:
Anathapindika Dravichi Jan (Dhika), 20 Desember 2003.


*************************

Serigala



Pada pemunculan awal Introspeksi di BVD, penulis menyatakan kelebihan manusia dari hewan adalah akal/ pikiran dan hati nurani. Bila kelebihan ini tak digunakan, apa bedanya manusia dengan hewan?

Secara fisik (tanpa bantuan akal) kemampuan manusia jauh (bahkan sangat-sangat jauh) di bawah hewan. Secepat-cepatnya sprinter di dunia, masih kalah dari cheetah (salah satu kerabat harimau), sekuat-kuatnya manusia di dunia tentu kalah dibanding gajah, setajam-tajamnya mata manusia jauh dibanding kemampuan mata elang. Barulah setelah menggunakan akal dan menciptakan berbagai alat, manusia mampu mengalahkan hewan. Dengan mobil balap, kita bisa mengalahkan kecepatan lari cheetah, dengan bantuan alat berat seperti forklift manusia bisa mengangkat barang berat, jauh lebih kuat daripada gajah, dengan mikroskop elektron/ teropong/ teleskop, jelas kemampuan mata elang kalah.

Tapi penulis termenung ketika membaca kalimat dari bahasa Latin “Homo homini lupus” yang kurang lebih berarti “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.” Seganas itukah manusia terhadap sesamanya?

Dalam arti luas (misalnya di bidang bisnis) terkadang memang manusia “seganas serigala” bagi pesaing bisnisnya. Tapi berita di media massa akhir-akhir ini lebih mengarah (menegaskan?) arti ”homo homini lupus” dalam arti sebenarnya.

Ada ajang pengenalan kampus yang sering jadi praktiki per-plonco-an yang berakibat hilangnya nyawa. Ada majikan yang menyiksa pembantu dengan setrika, palu, sapu, kayu, gunting,… hingga sekujur tubuh pembantu penuh bekas luka. Ditambah lagi dengan memberikan makanan & tempat tidur yang tidak layak (sekepal nasi, terkadang basi & tidur di lantai depan kamar mandi beralas keset kaki basah). Ada pula ayah yang tega memperkosa anak kandungnya selama bertahun-tahun hingga sang anak hamil (yang kelak akan melahirkan anak sekaligus cucunya). Ada penculik yang membunuh lalu membuang anak yang diculiknya dalam sebuah kardus karena orang tua sang anak tak sanggup memenuhi uang tebusan. Dan… ada Sumanto yang tega memakan daging manusia (mayat).

Mari kita sama-sama merenung. Seharusnya manusia menggunakan akal dan hati nurani yang dimiliki sebelum bertindak agar derajat kita setingkat di atas hewan. Bukan hanya bertindak atas dasar naluri/ insting semata. Kalau tidak? Ibarat kita adalah domba, kita mesti lebih berhati-hati dengan orang di sekeliling kita. Sebab ada pepatah kita yang mengatakan: (jangan-jangan banyak) “serigala berbulu domba” di sekitar kita.


*************************

Baut & Mur


Baut & mur akhirnya terpilih sebagai judul introspeksi setelah lama penulis merenung. Nominator lainnya yang tersingkir antara lain: kumbang & kembang, pena & kertas,… Ada beberapa hal yang menyebabkan pasangan lain tersingkir. Pada pasangan lain ada subyek yang lebih mendominasi, aktif, dan terkesan “tidak setia”.

Ada kumbang & kembang. Sang kumbang aktif mengisap madu dari kembang, dan kembang terlihat sebagai sosok yang pasrah/ pasif dan dirugikan (meski sebenarnya yang terjadi adalah simbiosis mutualisme, kerja sama yang saling menguntungkan). Begitu juga pena terlihat sebagai subyek dan kertas sebagai obyek. Pena bisa menulis di kertas mana pun (berganti-ganti pasangan). Begitu pun kumbang, kumbang tidak hanya mengisap madu dari satu jenis bunga saja (berbagai bunga dihisap sarinya).

Hasil pengamatan penulis, pada baut & mur terasa ada kesetaraan posisi. Mereka terasa setara/ sejajar. Saat keduanya dipasangkan (baut& mur diputar), keduanya terlihat sama-sama maju (saat dikencangkan) atau sama-sama mundur (saat dikendurkan). Keduanya sama-sama aktif. Soal kesetiaan, boleh diuji. Mereka hanya cocok dengan pasangan mereka (sama besar & sama ulir-nya). Jangan coba pisahkan mereka, karena mereka “ogah” berganti pasangan. Mereka pasangan setia.

Apakah sepasang manusia setara seperti halnya baut & mur? Bagi penulis, baut & mur adalah sebuah perumpamaan kesetaraan kedudukan pria & wanita. Pada hakikatnya kedudukan pria & wanita adalah setara. Memang pada jaman dahulu peran wanita dikesampingkan. Sekolah dibatasi, karir dihambat, dilarang terjun ke dunia politik, dan masih banyak lagi. Untuk itulah R.A. Kartini memperjuangkan emansipasi (persamaan hak). Pria & wanita seharusnya setara. Kodrat jangan dijadikan alasan untuk membatasi peran wanita. Menurut Ibu Parwati Soepangat (cendekiawan Buddhis), kodrat wanita hanya menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Berkarir di luar rumah tidaklah menyalahi kodrat.

Gambaran klasik bahwa wanita di rumah (lebih spesifik lagi di dapur), pria mencari nafkah di luar rumah, tidak sepenuhnya cocok di era modern ini. Ada satu pertanyaan sederhana yang menggelitik sehubungan dengan kodrat. Kalau memasak adalah kodrat wanita, bukankah banyak pria (juru masak/ koki terkenal) yang menyalahi kodratnya sebagai pria? Adalah fakta bahwa mayoritas koki terkenal di berbagai restoran berbintang adalah pria. Sebagian besar penata rambut terkenal di Indonesia juga pria. Kalau mereka mampu, haruskah kodrat dijadikan alasan untuk melarang mereka?

Inilah kenyataan. Tak ada batasan karir untuk seorang wanita (Megawati Soekarnoputri adalah salah satu contoh nyata). Apa salahnya seorang suami memasak atau mencuci bila sang istri sakit dan pembantu mudik? Apa dosanya seorang istri berkarir di luar rumah bila tidak menomorduakan perannya sebagai istri dan ibu?

Ayo kita belajar kesetaraan dan kesetiaan dari benda yang bernama baut & mur. Tak ada yang lebih penting antara baut & mur (mereka setara). Tanpa baut, mur tak berfungsi, begitu pula sebaliknya. Janganlah berganti pasangan (tidak setia/ selingkuh) karena akan menyebabkan kebersamaan yang telah terbina jadi berantakan.



Sace labhetha nipakam sahâyam,
saddhim caram sâdhuvihâri dhiram,
abhibhuyya sabbâni parissayâni,
careyya tenattamano satimâ.


(Dhammapada XXIII – 328)


*******************************************

Bila dalam perjalanan hidupmu, engkau menemukan seorang teman

yang bijaksana & cocok untuk hidup denganmu,

hendaklah engkau berjalan bersamanya,

dengan gembira dan penuh kesadaran mengatasi segala bahaya.

(Dhammapada XXIII – 328)

Untuk: Kenangan hari BAHAGIA yang terindah dalam hidup

(Bandung, 2003 2003)