Introspeksi 2000-2002
Daftar Isi:
- Introspeksi Es dimuat di BVD Oktober 2002
- Introspeksi Air Mata dimuat di BVD Januari 2002
- Introspeksi Tempat Sampah dimuat di BVD Juli 2001
- Introspeksi Semut dimuat di BVD Agustus 2001
- Introspeksi Ikan dimuat di BVD Februari 2001
- Introspeksi Ayam dimuat di BVD Januari 2001
- Introspeksi Teratai dimuat di BVD November 2000
Artikel Introspeksi hadir di majalah bulanan BVD sejak November 2000 dan hingga kini tetap hadir secara rutin di tiap edisi. Berikut ini beberapa artikel Introspeksi (tidak semua artikel Introspeksi akan dimuat di sini).
*************************
Es
“Pak Guru, mana es batunya?” tanya Michelle (4 thn), salah seorang murid les penulis. Mungkin ia ingat, saat pembantunya menghidangkan es teh manis ada beberapa ice cube (bongkahan es) di dalam gelas. Sekarang esnya tidak ada, padahal gelas itu sama sekali belum penulis sentuh. Itu sepenggal kenangan saat penulis mengajar les privat.
Di SD kita telah mendapat penjelasan tentang perubahan fisika (mencair, membeku, menguap,…). Es menjadi air (mencair), air dipanaskan akan jadi uap (menguap), kemudian uap menjadi air lagi (mengembun). Begitulah siklus air. Pada perubahan fisika, hanya bentuknya (padat, cair, dan gas) yang berubah. Zat yang berubah ini bisa kembali ke asalnya. Lain halnya perubahan kimia seperti kertas yang dibakar, abu tak bisa dikembalikan jadi kertas lagi.
Dari tulisan yang pernah penulis baca, jumlah air di muka bumi tidak pernah berubah. Air yang kita konsumsi sekarang (untuk mencuci, mandi, minum,…) adalah juga air yang dulu dipakai oleh orang-orang jaman dulu (Cleopatra, Albert Einstein,… misalnya). Hanya saja air ini telah tersaring secara alami. Air dari sungai ke laut, terkena sinar matahari menguap, kemudian turun lagi dalam bentuk air hujan, masuk ke tanah dan menjadi mata air. Kalau sekarang diberitakan permukaan air laut naik, itu bukan karena jumlah air yang “bertambah.” Hanya saja, akibat pemanasan global, sebagian gunung es di kutub (yang dulu disebut salju abadi) ada yang mencair. Ini adalah fakta bahwa di dunia ini tak ada yang kekal.
Pada kasus es dalam gelas minuman, mencairnya es adalah suatu “keharusan.” Selain berfungsi mendinginkan teh manis, es juga berfungsi mengurangi kadar manisnya (tanpa es, teh manis tadi akan terasa terlalu manis). Kalau tidak mencair, kita juga sukar menikmatinya (menelannya).
Umumnya es berfungsi untuk menyegarkan. Minuman ber-es menyegarkan kerongkongan kita, es juga menyegarkan (mengawetkan) buah, sayur, daging, juga untuk keperluan medis, meski ”dirinya” sendiri tidak awet.
Bercermin pada sebongkah es, kita diingatkan pada hakekat ketidakkekalan. Segala sesuatu di dunia ini tak ada yang kekal. Es menjadi air pada suhu tinggi (bahkan bisa menjadi uap), air akan beku (jadi es lagi) pada suhu rendah. Selalu ada dua kutub berseberangan. Ada siang ada malam, ada panas ada dingin, ada terang ada gelap, ada datang ada pergi. Manusia juga begitu. Ia datang saat dilahirkan, dan suatu saat (entah saat bayi, anak-anak, remaja, dewasa, atau tua) ia akan pergi. Tak peduli kita siap atau tidak. Kehidupan tak pasti, tapi kematian itu pasti.
Tapi kita percaya, ia yang pergi, tidak benar-benar menghilang. Ia cuma sedang dalam proses perubahan wujud, tumimbal lahir. Semoga saja hidup kita yang singkat ini (seperti es yang pasti akan mencair), juga berfungsi seperti es. Kehadiran kita menyejukkan dan menyegarkan lingkungan di mana kita berada.
Dipersembahkan kepada:
Seorang sahabat yang berduka atas kepergian ibundanya
pada hari Selasa, 10 September 2002
pada hari Selasa, 10 September 2002
dan mengenang kepergian seorang sahabat penulis, Noriady/
Upa. Athanasila (aktivis vihara Dharmakirti Palembang)
pada Minggu 29 Sept 2002 pukul 11.32 WIB.
*************************
Air Mata
“Ying siung, liu siek pu liu lei” terjemahan bebasnya “Seorang ksatria, meski darah menetes tidak meneteskan air mata” begitu kata almarhumah Mama kepada kami (anak laki-laki) agar kami tidak cengeng. Dalam konteks ini, memang benar, mengeluarkan air mata (baca: menangis) identik dengan cengeng. Tapi dalam pengertian yang lebih luas, mengeluarkan air mata tidak cuma saat kita menangis (yang biasanya diidentikkan dengan anak perempuan dan kesan cengeng). Banyak peristiwa yang bisa menyebabkan seseorang mengeluarkan air mata, dan ini manusiawi (termasuk laki-laki sekali pun!).
Kelilipan (mata kemasukan debu/ kotoran –red.), kesakitan, mata perih saat mengiris bawang, terharu, bahagia, sedih,… bahkan tertawa bisa menyebabkan kita mengeluarkan air mata. Air mata juga menandai awal dan akhir sebuah kehidupan.
Saat ibu melahirkan kita, beliau meneteskan air mata karena sakit yang luar biasa (meski penulis adalah seorang laki-laki dan tak pernah mengalaminya, penulis percaya semua ibu merasakan sakit yang teramat sangat saat melahirkan anaknya). Tangisan bayi (tentu saja disertai keluarnya air mata) merupakan pertanda ia hidup. Ibu dan seluruh anggota keluarga akan meneteskan air mata bahagia setelah mendengar kabar sang bayi lahir dengan selamat. Itu momen awal kehidupan, begitu juga saat akhir kehidupan. Saat ada yang meninggal, sanak saudara dan juga teman akan meneteskan air mata (baca: menangis) karena sedih. Tak hanya kehilangan manusia, kehilangan seekor hewan kesayangan, bahkan kehilangan sebuah benda kesayangan pun terkadang membuat kita menangis.
Meneteskan air mata adalah hal yang manusiawi. Penulis juga meneteskan air mata menyaksikan Susi Susanti (yang juga meneteskan air mata haru) saat menyanyikan Indonesia Raya mengiringi pengibaran bendera Merah Putih di arena olimpiade. Begitu juga saat menyaksikan pertemuan mereka yang telah sekian lama terpisah di acara Tali Kasih, atau menyaksikan korban bencana alam menerima sumbangan dari dompet peduli pemirsa dengan mata berkaca-kaca. Terkadang film drama yang sedih atau bahkan komedi sekali pun sama-sama bisa menyebabkan penulis mengeluarkan air mata.
Tahun 2001 baru saja berlalu, dan kita telah memasuki tahun 2002. Kita harus berprinsip tahun ini haruslah lebih baik daripada tahun kemarin. Mari kita mulai lembaran baru. Bila tahun kemarin tanpa sengaja kita menyinggung/ menyakiti perasaan orang lain (orang tua, saudara, atau teman), hingga mereka meneteskan air mata, tahun ini jangan sampai terulang. Tapi kalau membuat orang meneteskan air mata karena gembira, terharu, dan bahagia tidaklah dilarang (bahkan sangat dianjurkan). Kita semua berharap, tahun ini keadaan di Indonesia semakin membaik. Kalau pun masih banyak air mata yang menetes, kita berharap itu adalah air mata gembira, bahagia, dan haru.
Kelilipan (mata kemasukan debu/ kotoran –red.), kesakitan, mata perih saat mengiris bawang, terharu, bahagia, sedih,… bahkan tertawa bisa menyebabkan kita mengeluarkan air mata. Air mata juga menandai awal dan akhir sebuah kehidupan.
Saat ibu melahirkan kita, beliau meneteskan air mata karena sakit yang luar biasa (meski penulis adalah seorang laki-laki dan tak pernah mengalaminya, penulis percaya semua ibu merasakan sakit yang teramat sangat saat melahirkan anaknya). Tangisan bayi (tentu saja disertai keluarnya air mata) merupakan pertanda ia hidup. Ibu dan seluruh anggota keluarga akan meneteskan air mata bahagia setelah mendengar kabar sang bayi lahir dengan selamat. Itu momen awal kehidupan, begitu juga saat akhir kehidupan. Saat ada yang meninggal, sanak saudara dan juga teman akan meneteskan air mata (baca: menangis) karena sedih. Tak hanya kehilangan manusia, kehilangan seekor hewan kesayangan, bahkan kehilangan sebuah benda kesayangan pun terkadang membuat kita menangis.
Meneteskan air mata adalah hal yang manusiawi. Penulis juga meneteskan air mata menyaksikan Susi Susanti (yang juga meneteskan air mata haru) saat menyanyikan Indonesia Raya mengiringi pengibaran bendera Merah Putih di arena olimpiade. Begitu juga saat menyaksikan pertemuan mereka yang telah sekian lama terpisah di acara Tali Kasih, atau menyaksikan korban bencana alam menerima sumbangan dari dompet peduli pemirsa dengan mata berkaca-kaca. Terkadang film drama yang sedih atau bahkan komedi sekali pun sama-sama bisa menyebabkan penulis mengeluarkan air mata.
Tahun 2001 baru saja berlalu, dan kita telah memasuki tahun 2002. Kita harus berprinsip tahun ini haruslah lebih baik daripada tahun kemarin. Mari kita mulai lembaran baru. Bila tahun kemarin tanpa sengaja kita menyinggung/ menyakiti perasaan orang lain (orang tua, saudara, atau teman), hingga mereka meneteskan air mata, tahun ini jangan sampai terulang. Tapi kalau membuat orang meneteskan air mata karena gembira, terharu, dan bahagia tidaklah dilarang (bahkan sangat dianjurkan). Kita semua berharap, tahun ini keadaan di Indonesia semakin membaik. Kalau pun masih banyak air mata yang menetes, kita berharap itu adalah air mata gembira, bahagia, dan haru.
Note: Mengenang 2 tahun kepergian Mama (Ng Pik Laij),
01 Feb 2000 - 01 Feb 2002
*************************
Tempat Sampah
“Kita sering merasakan sesuatu itu berharga justru setelah barang itu tiada.” Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan ini. Penulis bukan cuma pernah mendengar kalimat ini, penulis juga pernah merasakannya (bahkan berkali-kali). Salah satu pengalaman penulis itu berhubungan dengan tempat sampah.
Saat itu tempat sampah di kamar penulis entah ke mana (mungkin dipinjam tetangga kamar, mungkin sedang mengungsi…). Sampah kering seperti kertas, tisu atau yang lain untuk sementara “diletakkan” di sudut kamar (penulis lagi konsentrasi menulis cerpen). Penulis berencana baru akan keluar kamar setelah cerpen selesai. Di pintu kamar digantung tulisan “Jangan diganggu.” Hasilnya tak seperti yang diharapkan. Ide cerpen yang tadinya telah ada di kepala, sukar sekali diwujudkan dalam kata-kata. Bukan karena suara berisik dari luar kamar, bukan juga dari ketukan di pintu, tapi karena tumpukan sampah di sudut kamar.
Setiap kali mata memandang sekeliling untuk mencari inspirasi, tumpukan sampah itu yang selalu mengganggu pikiran. Biasanya, meski sudah hampir penuh, sampah tak pernah mengganggu. Sampah tersimpan rapi di dalam tempat sampah.
Tempat sampah terkadang kurang kita hargai, meski sebenarnya banyak jasanya. Setidaknya sekarang tempat sampah memberi ide pada tulisan ini. Saat memandang tempat sampah, penulis jadi teringat pada beberapa rekan penulis yang selalu siap jadi “tempat sampah.” Segala keluh kesah teman/ sahabat selalu ditampungnya. Bukan cuma jadi pendengar setia, mereka juga selalu siap membantu mencarikan solusinya. Memberikan nasehat agar sahabatnya bisa keluar dari masalah dan selalu berada di jalan yang benar. Mereka seperti tempat sampah tapi tak berharap sahabat mereka jadi sampah masyarakat. Tak jarang mereka jadi orang terdepan bila sang sahabat merasa tak berani menghadapi masalahnya.
Tak gampang menemukan seorang teman yang (maaf), seperti tempat sampah ini. Tempat menumpahkan segala perasaan, berbagi suka dan duka. Selalu mendapat cerita duka, seolah memang inilah jatah mereka, dan sering terlupa saat ada berita suka. Wajarkah ini? Kalau ‘ia” memang sebuah benda yang bernama tempat sampah, memang wajar. Memang untuk itulah mereka dibuat, untuk tempat sampah (segala sesuatu yang jelek dan tak terpakai lagi). Tapi untuk seorang manusia, seorang sahabat setia, sahabat sejati, ini tentu tak pantas.
Mereka menerima segala macam “sampah” lalu menyimpannya dengan rapi. Jaga rahasia adalah salah satu “tugas” mereka. Beruntung sekali bagi kita yang memiliki sahabat seperti ini. Di dunia ini tak banyak orang seperti mereka dan tentu saja kita termasuk orang yang beruntung memiliki sahabat seperti ini. Setiap melihat tempat sampah, semoga saja terlintas sesuatu di benak kita. Sudahkah kita memperlakukan mereka dengan pantas selagi mereka masih ada?
Pro: Sahabatku LAH dan SMV
*************************
Semut
Seorang pembaca BVD mengirim surat mengomentari opini penulis, “Banggakah Anda???” (BVD Mei 2001). Katanya ia sangat bangga beragama Buddha. Why? Karena cocok bagi semua kalangan, fleksibel, dan sangat memperhatikan kepentingan makhluk hidup lain, meskipun ukurannya kecil.
Entah itu seekor belalang, nyamuk, ataupun semut. Saat akan makan biskuit, ternyata biskuit dalam plastik itu dikerubungi semut. Ia menggoncang-goncang plastik untuk mengusir semut. Temannya berkata, “Lagi ngapain kamu?” “Lagi ngusir semut” jawabnya. “Kalau mau ngusir semut, taruh aja di atas panci panas, lebih cepat dan semut mati.” Dari “hal kecil” ini ia bisa merasakan betapa agungnya ajaran Sang Buddha, ia bangga beragama Buddha!
Memang semut itu kecil. Tapi biarpun kecil, mereka tetap makhluk hidup dan berhak hidup. Sang Buddha mengajarkan kasih sayang terhadap semua semua makhluk hidup (kita sering mengucapkan “Semoga semua makhluk hidup berbahagaia”, bukan “Semoga semua manusia hidup berbahagia!”). Dari seekor semut yang kecil ini kita bisa belajar banyak (jangan kaget bila introspeksi mendatang ada semut 2, dan seterusnya).
Untuk cerita tentang semut, ada sebuah kisah yang ingin penulis ceritakan (maaf kalau ceritanya agak berbeda dari yang pernah Anda dengar, tapi yang penting adalah inti ceritanya). Di sebuah biara ada seorang anak (samanera kecil) dan seorang Bhante yang punya kemampuan melihat masa depan seseorang. Sang Bhante melihat usia anak kecil ini tidak lama lagi (akan meninggal sekitar sebulan lagi). Nah… Sang Bhante yang bijaksana ini memberikan kesempatan berlibur, kembali ke desa dan bertemu orang tuanya selama 1 bulan. “Setelah 1 bulan kamu boleh datang ke sini lagi,” kata Bhante. “Biarlah ia berjumpa dan berada dekat orang tuanya pada saat-saat terakhir,” batin Sang Bhante. Maka pulanglah samanera kecil ini.
Tak lama kemudian (tepatnya satu bulan berlalu), anak ini datang kembali ke biara. Tentu saja Sang Bhante kaget. Kenapa si kecil masih hidup, padahal mata batinnya hampir tidak pernah salah melihat masa depan seseorang. Lebih kaget lagi ketika Sang Bhante melihat tanda bahwa usia si kecil ini justru sangat panjang! Ada apa gerangan? Karena penasaran, Sang Bhante mencari tahu. “Apa yang telah kamu lakukan dan kamu alami selama sebulan ini?” tanya Sang Bhante. Si kecil bercerita dengan polosnya ia asyik bermain dengan teman seusianya di kampung, bertemu saudara dan orang tuanya. Tak ada peristiwa yang istimewa. “Coba ceritakan pengalamanmu sejak berangkat dari biara ini,” tanya Bhante penasaran. Si kecil pun bercerita. Di perjalanan pulang ke rumah, ia kehujanan. Ia terpaksa berteduh di bawah pohon. Saat itu hujan cukup deras sehingga terjadi “banjir kecil” yang menyebabkan sarang semut kebanjiran. Semut-semut berlarian keluar dan hanyut terbawa arus air. Karena kasihan, samanera kecil mengambil ranting dan meletakkannya di sekitar rombongan semut (seolah membuat jaring penyelamat atau jembatan) dan semut-semut selamat dari terjangan banjir. Sang Bhante berkesimpulan, karma baik menyelamatkan semut-semut inilah yang menyebabkan umur si kecil bertambah panjang. Yah… “hanya karena menyelamatkan semut” yang sering kita anggap kecil atau bahkan sering tidak kita anggap sama sekali!
Note:
- Bhante = sebutan untuk Bikkhu (pemuka agama Buddha)
- Samanera = orang yang belajar agama Buddha dan mempraktikkan sila (mengikuti cara hidup Bikkhu antara lain: vegetarian)
*************************
Ikan
Saat masih sekolah di SMA Xaverius 1 Palembang dulu, penulis pernah ikut retreat yang diadakan sekolah. Mundur sejenak dari rutinitas sehari-hari. Bersama teman-teman lain 'menyendiri' di tempat yang sunyi, jauh dari hingar bingar suara knalpot kendaraan. Merenungi apa yang telah dilakukan selama ini dan apa yang belum dilakukan. Ternyata apa yang selama ini dikerjakan banyak yang keliru. Juga banyak hal penting yang belum dikerjakan. Selama ini kami lebih banyak mengisi perut dengan makanan daripada mengisi kepala dengan makanan rohani. Seharusnya keduanya diisi secara seimbang agar kehidupan tak berjalan timpang.
Pada satu kesempatan kami diminta mencari tumbuhan ataupun hewan yang bisa kami teladani sifat-sifatnya. Penulis tertarik dengan contoh hewan yang diteladani pembimbing, yakni ikan. "Saya mengagumi ikan dan ingin menjadi seperti ikan. Di mana istimewanya ikan?" kata pembimbing. Kami diam karena belum tahu apa yang dimaksud sang pembimbing. "Lihatlah ikan yang bertolak belakang dengan ayam betina. Baru bertelur satu butir saja, ayam betina berkotek keras-keras sehingga orang sedunia tahu. Tapi lihatlah ikan, sekali bertelur puluhan, ratusan bahkan ada yang ribuan butir, si ikan diam saja. Contoh ini mirip dengan ungkapan "Tong kosong berbunyi nyaring" dan "Air beriak tanda tak dalam." Seringkali orang yang baru melakukan sedikit kebaikan (punya sedikit keahlian) sering berkoar dia telah berbuat banyak (dia ahlinya atau dia jagonya). Ia tidak tahu, masih banyak orang yang jauh lebih hebat, berbuat banyak kebaikan namun diam saja. Bagi orang-orang yang telah bersifat seperti ikan ini, pujian dan sanjungan bukanlah tujuan. Berbuat baik kepada sesama adalah suatu kewajiban. Khusus bagi kita umat Buddha yang meyakini "Apa yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik", sifat ikan patut kita teladani.
Kita bisa seperti ikan, meski lebih mudah seperti ayam betina. Ingin seperti ikan atau ayam betina, semua terserah kita...........
*************************
Ayam
Anda akan membaca introspeksi mendatang dengan topik ikan, yang bertolak belakang dengan ayam. Di situ akan dibahas mengapa kita lebih baik meneladani ikan daripada ayam. Mungkin akan timbul pertanyaan di benak Anda, kalau begitu, mengapa ayam dibahas? Sebelum menjawab pertanyaan ini, penulis mengajak pembaca memperhatikan sekitar kita (tumbuhan, hewan, juga benda alam lainnya). Banyak yang bisa kita pelajari dari “mereka.” Umumnya dari diri “mereka” tadi, ada unsur baik dan buruk. Yang baik kita teladani, yang buruk jangan kita tiru. Lantas bagaimana kalau setelah kita teliti, ternyata “mereka” hanya memiliki unsur buruk? “Gitu aja kok repot” (meminjam istilah Presiden Gus Dur yang kini ramai dipakai untuk iklan). Kita ‘kan manusia yang dianugerahi otak untuk berpikir, apakah kita ingin mencontoh “mereka” sehingga kita sederajat dengan binatang?
Yah… selain punya sifat jelek ayam (baca: ayam betina) juga punya sifat atau naluri yang patut diteladani. Perhatikan ayam saat akan mengerami telurnya. Sang ayam nyaris nonstop mengerami telurnya, hanya pergi sebentar untuk mencari makan (begitu juga pengorbanan seorang ibu yang selalu membawa kita ke mana pun ia pergi selama 9 bulan 10 hari).
Anda perhatikan saat ayam sedang mengerami telurnya. Jangan Anda coba-coba mengambil telurnya jika Anda tak ingin dipatok! Apalagi setelah telurnya menetas, jangan sekali-kali mengganggu anaknya. Naluri seorang ibu (atau naluri seekor induk bagi hewan) melindungi anaknya hampir sama pada semua makhluk hidup. Hewan (khususnya yang betina) yang sedang mengasuh anaknya, jauh lebih galak daripada biasa (sebelum punya anak). Bahkan pada ayam, meski ada yang usil menaruh telur bebek hingga menetas menjadi anak bebek, anak bebek tetap diasuh sang induk seperti anak sendiri. Naluri keibuan melindungi anak ini, mengingatkan penulis pada bait ke-7 paritta Karaniya Metta Sutta: “Bagaikan perlindungan seorang ibu kepada anaknya yang tunggal…..”
Mama (seorang ibu) rela mengorbankan jiwanya demi sang buah hati (setidaknya saat melahirkan kita). Banyak yang telah ibu berikan pada kita, namun tak banyak yang bisa kita berikan. “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggalan,” begitu kata pepatah. Begitu juga syair yang terkandung dalam lagu “Kasih Ibu.” Apa yang ibu berikan, tak mungkin bisa kita balas. Bercermin pada seekor ayam betina, semestinya kita tahu apa yang layak kita persembahkan kepada ibu.
Note: Mengenang 1 tahun kepergian Mama tercinta, Ng Pik Laij
(01 Feb 2000-01 Feb 2001).
Semoga Mama terlahir dalam kondisi yang lebih baik.
*************************
Teratai
Tahun 1990-an, saat mengelola majalah Citta dan Gema Dharmakirti, ada satu keinginan (baca: obsesi) penulis yang hingga kini belum tercapai. Penulis ingin jadi penulis tetap dan punya rubrik khusus yang diberi tajuk: Berguru pada Alam atau Belajar dari Alam. Tulisan singkat (ilmiah populer, lebih baik kalau bisa dikaitkan dengan dhamma) sepanjang 1-2 halaman saja. Isinya singkat, padat, dan bermanfaat. Kini nama rubriknya penulis ganti jadi “Introspeksi” (diharapkan kita bersama melakukan introspeksi setelah membaca artikel ini).
Entah telah berapa banyak barang yang telah diciptakan setelah manusia mengamati alam. Terinspirasi burung, manusia membuat pesawat terbang, melihat capung, terciptalah helikopter, dan masih banyak lagi. Banyak sekali yang dapat kita pelajari dari alam (dari tumbuhan, hewan, juga dari alam seperti hujan, hutan, matahari,…). Contoh yang paling dekat dalam agama Buddha adalah teratai. Tumbuh di tempat yang kotor, namun tetap bersih. Sifat teratai inilah yang patut kita teladani.
Remaja sangat rentan terhadap pengaruh buruk lingkungan. Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya bagi perkembangan kita (khususnya di usia remaja). Tadinya kita termasuk anak baik-baik, lalu bergaul dengan kelompok yang kurang/ tidak baik, bisa-bisa kita ikut terjerumus jadi tidak baik. Hal ini mengingatkan pada mantan murid les penulis, saat masih di Palembang. Tadinya dia termasuk anak baik-baik dari keluarga harmonis. Sejak SMA ia mulai salah bergaul.
Awalnya ia cuma mengenal rokok. Dari pergaulan yang salah inilah ia kemudian mengenal ganja, ekstasi, hingga akhirnya putaw (“putaw yang kumau,” katanya, mirip iklan sebuah minuman ringan). Orang tuanya nyaris putus asa menghadapi tingkah laku sang anak, yang tadinya jadi harapan orang tua. Dia anak laki-laki satu-satunya (penerus marga bagi suku Tionghua). Tingkah laku dan sifat orang tuanya baik dan bisa jadi teladan, didikan orang tua juga cukup baik, namun pengaruh lingkungan membawanya ke jurang yang sangat dalam dan kelam, masa depan jadi suram.
Teratai adalah simbol kuatnya pribadi dari pengaruh lingkungan. Seperti yang pernah penulis bahas di BVD Mei 2000 (baca: “Janganlah bergaul dengan orang…..”) kalau kita termasuk kategori orang biasa/ sedang-sedang saja (ibarat air di daun talas), sebaiknya kita menghindar dari orang-orang berbudi rendah karena kita gampang terpengaruh. Kalau kita sudah seperti teratai, barulah kita bergaul dengan semua kalangan, termasuk orang-orang berbudi rendah.
Apa dan siapa yang akan disalahkan? Lewat tulisan ini penulis tak ingin menyalahkan siapa-siapa dari kasus tadi. Mungkin saja bekal pengetahuan agama (Dhamma) dan pengawasan dari orang tua yang kurang, mungkin sang anak yang masih labil salah bergaul (lantas ikut-ikutan biar disebut anak gaul, trendy, funky,…), mungkin pengawasan sekolah yang kurang, mungkin aparat kepolisian yang kurang gencar memberantas peredaran obat-obatan terlarang, mungkin sanksi hukum kita yang kurang berat bagi para pengedar, mungkin kontrol sosial dari lingkungan yang kurang berperan, dan lain-lain.
Ini semua tanggung jawab kita bersama. Mari kita berguru pada teratai dan jadikan sifatnya sebagai teladan. Tak ada kata terlambat untuk bertobat, jangan tunggu “mati” baru akan berhenti. Ayo!!! Kamu mampu, kalau kamu mau!
Note: Tulisan ini diperuntukkan bagi mantan murid les penulis
dan rekan-rekan lain yang tengah berjuang lepas dari
obat-obatan terlarang dan psikotropika.
Selamat berjuang kawan, Anda pasti berhasil kalau Anda mau!
Bagi yang belum, janganlah pernah ada niat untuk mencoba!!!
<< Home