Introspeksi 2005-2006
Daftar Isi:
- Introspeksi TV dimuat di BVD Desember 2006
- Introspeksi Lidah dimuat di BVD November 2006
- Introspeksi Lebah dimuat di BVD Oktober 2006
- Introspeksi Jarum dimuat di BVD September 2006
- Introspeksi Koin dimuat di BVD Agustus 2006
- Introspeksi Kodok dimuat di BVD Juli 2006
- Introspeksi Merpati dimuat di BVD Juni 2006
- Introspeksi Pohon dimuat di BVD Mei 2006
- Introspeksi Gigi dimuat di BVD Maret 2006
- Introspeksi Darah dimuat di BVD Februari 2006
- Introspeksi Nangka dimuat di BVD Januari 2006
- Introspeksi Kelinci dimuat di BVD Desember 2005
- Introspeksi Tupai dimuat di BVD November 2005
- Introspeksi Bom 2 dimuat di BVD Oktober 2005
- Introspeksi Banteng dimuat di BVD September 2005
- Introspeksi Panjat Pinang dimuat di BVD Agustus 2005
- Introspeksi Kucing dimuat di BVD Juli 2005
- Introspeksi Semut 3 dimuat di BVD Juni 2005
- Introspeksi Bola Basket dimuat di BVD Mei 2005
- Introspeksi Manggis dimuat di BVD April 2005
- Introspeksi Cincin dimuat di BVD Maret 2005
*************************
TV
Berita aktual dari manca negara, sepak terjang para artis, bermacam kuis, beragam tayangan olah raga, berbagai macam irama lagu, aneka film kartun,… sampai “hiburan” penuh kekerasan semacam Smack Down dapat kita nikmati dari kotak ajaib bernama televisi (TV). Segala macam sisi kehidupan hadir di ruang keluarga kita melalui TV. Banyak manfaat yang dapat kita peroleh, tapi banyak pula hal buruk yang dapat diakibatkan oleh tayangan acara TV.
Tayangan yang diperkirakan akan berdampak buruk, sudah pernah mendapat protes. Beberapa tayangan tersebut antara lain: tayangan misteri (baca: hantu), infotainment, berita kriminal yang menampilkan banyak darah, dan terakhir Smack Down yang berhasil meng-KO seorang anak SD akibat meniru “perkelahian bohongan” dengan sungguhan.
Gerakan protes kembali terjadi di mana-mana, berbarengan dengan bertambahnya jumlah korban (patah tangan, patah kaki, luka-luka…). Akhirnya, stasiun TV sepakat menghapuskan tayangan Smack Down dan sejenisnya.
Di negeri ini, kita sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Selalu butuh korban untuk sebuah pelajaran. Sudah banyak korban akibat banjir dan longsor, barulah para pembalak liar dikejar. Barulah bangunan di pinggiran sungai digusur, rumah dan vila mewah di daerah resapan air dibongkar. Padahal, untuk membangun rumah mewah dan vila, tentulah harus mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Banyak korban tewas tertabrak kereta api karena perlintasannya tak berpalang, tapi masih saja ada perlintasan tak berpalang dan tak dijaga. Harus ada korban dalam jumlah besar dulu?
Kasus korupsi, pungli, pelayanan publik yang kurang baik, dan masih seabreg persoalan di negeri ini yang harus diperbaiki. Haruskah semua diperhatikan setelah banyak korban yang melapor, kasusnya jadi kasus nasional dan dimuat di media massa, atau pengaduan masyarakat lewat Surat Pembaca?
Ini pekerjaan rumah (PR) para petinggi negeri ini. Kita (termasuk penulis sebagai orang tua) juga kebagian PR untuk mendampingi anak saat menyaksikan tayangan di TV. Mana yang layak dan tak layak disaksikan anak. Belajar dari kasus Smack Down, mari kita lebih waspada pada tayangan TV. Semoga kotak ajaib (baca: TV) menghasilkan keajaiban-keajaiban di sekitar kita dalam arti positif, bukan sebaliknya.
*************************
Lidah
“Ping Chung Kheu Ru, Huo Chung Kheu Chuk” ini pepatah dari bahasa Tionghua yang sering diucapkan Papa dan almarhum Mama. Artinya? Kurang lebih seperti ini: “Penyakit masuk dari mulut, masalah keluar dari mulut.”
Sebagian isi dari pepatah itu artinya mirip dengan pepatah dari bahasa Indonesia: “Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah.” Yah… artinya kita harus pandai-pandai menjaga mulut (dalam hal bicara, ini diartikan lidah).
Badan kita sakit, sering kali berawal dari mulut (apa yang kita masukkan/ makan). Diare, sakit maag,… sampai diabetes, jantung,… berawal dari pola makan yang salah. Maka, menjaga apa yang kita makan, merupakan langkah pencegahan yang baik.
Kemudian soal bicara. Sebuah syair lagu mengatakan “Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata,…” Secara fisik, lidah yang tidak bertulang itu memudahkan kita menggerakkannya untuk mengucapkan kata apapun. Mirip dengan tubuh lentur pemain sirkus yang berjuluk “gadis plastik”. Mudah ditekuk dan dibentuk, seolah tanpa tulang.
Kalau makanan, harus kita teliti sebelum dimasukkan ke mulut. Apakah bersih, apakah termasuk makanan sehat bagi tubuh? Sebaliknya, ucapan, harus kita “teliti” (kita pikir dahulu), sebelum kata-kata tersebut meluncur keluar dari mulut. Kata yang salah, dapat menyebabkan masalah. Mulai dari dibenci orang, hilangnya sahabat,… sampai pada kasus hukum yang menanti.
Untuk ucapan yang tidak tepat, bukan hanya berakibat pada hilangnya sahabat atau masalah hukum yang akan menimpa kita, itu juga bisa jadi tolok ukur bagaimana diri kita di mata orang lain. Dari ucapan, orang bisa menilai pribadi kita (tingkat pendidikan dan emosi kita).
Mari kita jaga mulut dari makanan yang tidak sehat dan ucapan yang tidak tepat.
*************************
Lebah
Terbang dari satu bunga ke bunga lain mencari makan. Bahu membahu dengan semua anggota koloninya untuk mengumpulkan madu. Begitulah keseharian lebah. Banyak sisi positif yang bisa diteladani dari seekor lebah.
Giat bekerja. Kerja sama yang kompak dalam sebuah kelompok. Mengumpulkan sari-sari bunga, bukan hanya untuk makanan mereka sendiri, tapi juga banyak memberi manfaat pada makhluk lain (manusia). Bahkan, bunga yang terlihat jadi obyek pun diuntungkan (membantu proses penyerbukan).
Anda takut dengan lebah? Tidak perlu takut. Sama halnya dengan hewan-hewan lain, umumnya mereka hanya membunuh makhluk hidup lain karena 2 alasan. Pertama: karena lapar (bagi karnivora), kedua: karena terancam hidupnya. Atau singkatnya, mereka membunuh hanya untuk mempertahankan hidupnya. Begitu pula tindakan lebah kalau mereka terancam atau diganggu. Tidak tanggung-tanggung, mereka rela (baca: terpaksa) mati bila sudah menyengat pengganggunya. Tidak ada pilihan bagi lebah yang terancam hidupnya, yakni mati. Mati karena pengganggu atau mati setelah menyengat pengganggu. Begitulah resiko yang harus mereka hadapi.
Tidak seperti manusia, yang terkadang menyiksa dan membunuh makhluk lain hanya untuk kesenangan. Dari mulai adu semut, jangkrik, ayam, sampai banteng (matador). Membuat makhluk lain menderita (bahkan sampai mati) hanya untuk kesenangan (tontonan).
Semoga keberadaan kita bisa seperti lebah. Giat bekerja. Hidup rukun dengan sesama. Memberi manfaat bagi diri kita dan lingkungan. Tidak menimbulkan penderitaan makhluk lain. Semoga saja kita semua bisa meneladani lebah.
*************************
Jarum
Anda pasti pernah melihat orang yang tidak punya tangan? Ia tak punya kedua tangan, ada yang cacat sejak lahir, ada pula karena kecelakaan. Biasanya kita akan kagum akan kemampuan kakinya. Segala kegiatan bisa dilakukannya dengan kaki. Makan, berpakaian, menyisir, melukis, bahkan bermain keyboard.
Apakah ini memang kelebihan yang dimiliki orang cacat? Mengapa orang buta, pendengarannya sangat tajam dan indera peraba-nya (terutama telapak tangan) sangat sensitif? Dengan telinganya, orang buta bisa tahu siapa temannya yang berjalan menuju tempatnya, hanya dengan mendengar langkah kakinya. Dengan meraba uang kertas, orang buta bisa tahu berapa nilai nominal uang tersebut dengan tepat.
Menurut penulis, semua itu bukan “hadiah” istimewa bagi yang memiliki kekurangan. Semua itu diperoleh dengan ketekunan (tekun berlatih).
Mengapa kemampuan telinga kita tak setajam orang buta? Karena kita malas melatihnya. Untuk apa kita memejamkan mata dan konsentrasi pada telinga untuk tahu siapa teman kita yang datang? Bukankah dengan melihat wajahnya, kita langsung akan tahu. Untuk apa meraba uang kertas (merasakan ukuran uang kertas dan detail “gambarnya”) kalau dengan sekali lihat kita tahu nilai nominalnya?
Faktor lain kita “mau” belajar adalah faktor keterpaksaan. Ini memang sifat dasar manusia. Sekarang, kita fokuskan pada faktor ketekunan dalam melakukan sesuatu. Kalau berani mencoba, tekun berlatih, umumnya akan membuahkan hasil. Misalnya ingin belajar bermain gitar. Mungkin kita tidak jadi gitaris handal, tapi setidaknya kita mampu memainkan 1 atau 2 lagu sederhana. Ini juga sebuah keberhasilan.
Saat kecil, ibu penulis sering menceritakan kisah seorang nenek yang setiap hari menggosok sebatang besi. Orang yang lewat terheran-heran melihat tingkah sang nenek. Lalu orang tersebut bertanya ”Nek, untuk apa nenek menggosok batangan besi itu?” Dengan penuh semangat, sang nenek menjawab “Saya ingin membuat sebatang jarum.”
Mungkin kisah ini terasa hiperbola (dilebih-lebihkan). Tapi inti pesan yang terkandung di dalam cerita tadi adalah ketekunan. Ketekunan adalah kunci keberhasilan.
*************************
Koin
Kamis, 03 Agustus 2006 penulis bersama istri dan anak berbelanja ke sebuah swalayan di daerah Kopo Sayati. Penulis tertegun melihat pengumuman yang tertempel di dekat tempat penitipan barang. Pihak swalayan telah mengumpulkan dana lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) untuk korban gempa dan tsunami di Pangandaran. Bukan nilai yang dikumpulkan yang jadi perhatian penulis, tapi penjelasan dari mana dana tersebut berasal.
Dana sebesar itu berasal dari pembulatan uang kembalian saat kita berbelanja di swalayan ini. Luar biasa bukan? Nilai pembulatan uang kembalian itu tidak sampai Rp 100 dari tiap orang. Jumlah yang sangat kecil dan sering kita anggap tidak berarti. Jangankan kita, penulis pernah memergoki pengemis yang membuang uang logam/ koin Rp 50 dari kaleng uangnya.
“Sedikit… sedikit…, lama-lama jadi bukit” begitu kata pepatah. Jangan anggap enteng sesuatu yang kecil, karena semua hal besar bermula dari yang kecil.
Bagaimana bila dikaitkan dengan perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan sehari-hari? Jangan menganggap kecil perbuatan baik atau buruk yang kita lakukan.
Bila kita melakukan perbuatan buruk (sekecil apa pun itu), segera hentikan. Karena kalau ditumpuk, akan jadi besar (baca: banyak) pula kejahatan yang kita lakukan. Demikian pula perbuatan baik. Bila kita melakukan perbuatan baik (sekecil apa pun itu), berusahalah untuk terus mengulanginya, hingga ini menjadi kebiasaan.
Mari renungkan Dhammapada 121-122:
Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata “Perbuatan jahat ini tidak akan membawa akibat.” Bagaikan sebuah tempayan yang akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bodoh, sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.
Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil, dengan berkata “Perbuatan bajik ini tidak akan membawa akibat.” Bagaikan sebuah tempayan yang akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana, sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.
*************************
Kodok
Sabtu, 17 Juni 2006 lalu play group tempat Dhika (anak pertama penulis) bersekolah mengadakan pesta anak/ pesta perpisahan karena kakak kelas Dhika (yang kelas senior) sudah cukup umur untuk masuk ke TK (Taman Kanak-Kanak).
Secara garis besar, acara tersebut adalah dari anak, oleh anak, untuk anak. Pengisi acaranya adalah semua murid play group (kelas kancil, junior, dan senior). Tak disangka (sehari sebelumnya), penulis diminta oleh kepala sekolah untuk mengisi acara dengan sulap. Meski mendadak, akhirnya penulis bersedia. Menghibur (membahagiakan) orang banyak, adalah salah tujuan penulis mempelajari sulap.
Anda tentu tahu bagaimana sifat anak kecil. Susah diatur, berisik, ada yang sibuk main dengan teman, ada yang jahil ke teman, ada yang menangis,… Setelah kata sambutan dari kepala sekolah, penulis show di hadapan anak-anak beserta orang tua mereka yang juga hadir.
Belajar dari pengalaman teman yang seorang pesulap, ada trik untuk menarik perhatian penonton. Bisa memainkan sulap yang bernuasa gaib, cerita pengalaman show sebelumnya, misalnya: pada show sebelumnya beberapa penonton yang sibuk sendiri (ngobrol dengan teman) tidak sadar kalau ternyata uang di dompet mereka “dihilangkan” pesulap. “Sebelum saya mulai, mohon perhatian Anda untuk memeriksa dompet masing-masing” begitu kata teman saya. Mendengar ini, spontan semua penonton memeriksa dompet mereka. Lalu akhirnya berkonsentrasi penuh pada sulap yang akan dimainkan.
Penulis coba melakukan trik serupa. “Anak-anak, sekarang Om akan bermain sulap. Sebelumnya, perkenalkan, nama Hendry, boleh panggil Om Hendry. Siapa yang mau disulap?” penulis memberi umpan. “Saya…” mereka merespon. “Tapi Om belajar sulapnya baru sedikit. Ada yang mau disulap?” pancing penulis. “Saya…” kembali mereka merespon. “Om baru belajar sulap anak-anak jadi kodok. Tapi belum belajar sulap untuk mengembalikan kodok menjadi anak-anak lagi” penulis bercanda. “Ayo sekarang perhatikan ya…?” penulis mengajak penonton untuk fokus pada permainan sulap.
Penulis bermain sulap interaktif. Anak-anak dilibatkan dalam pertunjukan. Misalnya meminta seorang anak memilih jeruk (kartu yang dihilangkan lalu muncul di dalam jeruk pilihannya). Setelah membantu, penulis memberikan bonus berupa jeruk, atau saat sulap uang, yang berani tampil mendapatkan bonus berupa uang.
Ternyata, tidak mudah mengajak mereka untuk terlibat. Mereka sepertinya takut kalau ditunjuk untuk naik ke panggung. Di rumah, setelah pertunjukan selesai, penulis coba menganalisa. Akhirnya penulis berkesimpulan, mungkin cerita penulis bisa sulap anak jadi kodok, yang membuat mereka takut. Takut disulap jadi kodok dan tidak bisa balik jadi manusia lagi.
Satu pelajaran penting bisa dipetik. Penulis harus lebih bisa memahami karakter penonton. Cerita “menyeramkan” mungkin efektif untuk penonton dewasa, tapi tidak tepat untuk menarik perhatian anak-anak. Mereka memang jadi tidak berisik, bisa fokus pada pertunjukan, tapi susah diajak interaksi karena takut.
*************************
Merpati
Hidup ini adalah proses belajar tanpa henti. Kita belajar di mana, kapan saja, dan dari siapa saja. Kali ini penulis mendapat pengetahuan baru dari penjaga sekolah Dhika (MY). Sambil menunggu Dhika, penulis mengobrol dengan penjaga sekolah yang masih remaja itu.
Untuk menjadi teman bicara yang baik, kita harus mau mendengarkan pendapat orang lain (ini yang seringkali terlupakan oleh penulis). Terkadang penulis sering mendominasi pembicaraan (lebih banyak berbicara daripada membiarkan orang lain bicara). Penulis masih harus banyak belajar menahan diri, kata istri. Selain itu, untuk jadi teman ngobrol yang baik, kita harus bisa mengikuti selera lawan bicara. Kita yang mengikuti topik pembicaraan yang disukai lawan bicara.
Penulis tahu MY gemar burung merpati, ini saja yang dijadikan topik pembicaraan. Kebetulan ada pertanyaan penulis yang masih belum terjawab tentang merpati. Penulis kagum dengan “ketajaman” mata merpati. Ada sederet orang yang memegang merpati betina. Dari kejauhan merpati jantan langsung terbang menuju pasangannya, tidak pernah salah. Inikah yang mengilhami judul lagu dan film “Merpati Tak Pernah Ingkar Janji”?
Dalam benak penulis, warna merpati tidak banyak, putih, coklat, hitam dan kombinasinya. Kepala merpati begitu kecil, kok bisa sang jantan mengenali pasangannya dari ketinggian, di antara sekian banyak betina? Kalau manusia, masih banyak yang bisa dijadikan patokan. Warna kulit (putih, sawo matang, coklat, hitam). Jenis rambut juga berbeda, lurus dan keriting, warna rambut bisa bermacam-macam tergantung selera, mata: ada yang sipit ada yang belo, hidung: ada yang mancung, ada yang pesek, dan masih banyak lagi.
Mata merpati setajam mata elang? Ternyata tidak. Menurut MY, merpati jantan memang berpatokan pada warna bulu sang betina. Tapi untuk mengatasi kelemahan penglihatannya, merpati jantan lebih memperhatikan warna pakaian sang pemilik!
Saat latihan dan saat bertanding, pakaian yang dipakai oleh pemegang merpati betina (biasanya pemilik merpati) harus sama. Jadi kalau hari ini latihan, besok bertanding, pemegang merpati betina tidak akan berganti pakaian supaya merpati jantan tidak salah. Ternyata ini jawaban yang selama ini penulis cari.
Demi sebuah kemenangan (juga kesenangan), pemilik mau mengalah pada binatang peliharaannya, seekor merpati. Lantas terlintas sebuah pemikiran. Mengapa, untuk seorang istri tercinta (yang mendampingi hidup, ikut membesarkan buah hati, teman di kala suka dan duka,…), seorang suami tidak mau mengalah? Mengalah untuk apa? Mengalah untuk tidak mencari pesaing bagi istrinya. Semua orang tahu, tidak ada wanita (istri) yang mau berbagi kasih sayang dengan wanita lain. Artinya, tidak ada wanita yang mau dimadu. Sekali pun untuk kasus tertentu (misalnya sang wanita tak mampu memberi anak pada suaminya), tetaplah tidak ada wanita yang tulus untuk memberi ijin kepada suaminya untuk menikah lagi.
Anda saksikan sendiri akibatnya pada tayangan berbagai infotainment. Seorang istri beserta dua anaknya yang mengamuk di rumah “istri muda.” Sang suami anak mantan penguasa, istri mudanya seorang artis terkenal. Pada dasarnya, semua manusia egois. Tak ada wanita yang mau berbagi suami. Apalagi seorang pria, mana ada yang rela berbagi istri. Kalau hanya untuk seekor merpati, seorang pria bisa mengalah, seharusnya dan sepantasnya, seorang pria (suami) juga mau mengalah untuk istri tercinta.
*************************
Pohon
“Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin yang menerpanya” begitu kata pepatah. Memang begitulah kenyataannya. Semakin tinggi jabatan yang kita pegang, semakin besar “keinginan” orang-orang (baca: orang-orang yang mengincar jabatan kita) ingin menggoyang dan menggeser posisi kita.
Kalau takut jadi pohon yang tinggi, jadilah rumput. Jadi rumput memang lebih enak, tidak diterpa angin kencang. Tapi jangan salah, rumput selalu diinjak orang yang lalu lalang. Apa artinya? Segala sesuatu, pasti ada resikonya.
Itu keadaan yang tengah dialami LIS (sebut saja demikian). Pretasi (jabatan) yang dicapainya, cukup tinggi untuk pendidikannya yang hanya SMEA. Tapi jabatan yang dicapainya bukanlah dengan sim salabim (artinya bukan dalam sekejab LIS mencapai posisi itu). Jabatan itu dicapainya dengan kerja keras dan prestasi setelah belasan tahun mengabdi. Ini suatu hal yang wajar.
Di lingkungan kerjanya, sebagian besar karyawannya berpendidikan S1 (termasuk sekitar 10 orang bawahannya). Jadi merupakan hal yang wajar bila banyak yang merasa iri dan mengincar posisi LIS. Tapi yang dikeluhkan LIS, bukan kencangnya terpaan angin. Goyangan pesaing memang hal yang wajar, tapi cara-caranya yang tidak wajar. Ada yang sengaja melakukan sabotase ketika LIS cuti melahirkan, ada yang bermuka dua (menjilat atasan, menjelek-jelekkan LIS pada atasan tapi selalu bersikap manis di depan LIS), dan ada pula yang menggunakan jasa paranormal (baca: dukun)! Untuk cara pertama dan kedua, LIS punya bukti. Untuk cara ketiga, memang sukar dibuktikan, namun LIS meyakini itu terjadi.
Sebagai seorang Buddhis, apa yang kita lakukan bila menghadapi kondisi seperti ini? Melawan secara frontal, jelas tidak mungkin (dilihat dari jumlah, lawan tidaklah sepadan). Ikut main dukun? LIS bilang ia hanya “pasrah” (bekerja sebaik mungkin, tetap berada di jalan Dhamma). Apa yang akan terjadi pada dirinya, biarlah berjalan apa adanya. Toh… LIS berprinsip “Jangan takut dan gentar, tidak akan terjadi apa pun pada dirimu, bila itu bukan karmamu.” LIS berharap, tabungan karma baiknya berbuah sehingga ia tetap bisa bertahan di posisi yang telah dirintisnya sejak belasan tahun yang lalu. Kalau ia tidak kuat menghadapi tekanan angin yang semakin kencang, ia memilih mundur dan mencoba usaha lain. Daripada stres dan berakibat buruk bagi kesehatannya, begitu lanjut LIS. Penulis tidak bisa banyak memberi masukan pada LIS, selain mendukung prinsipnya dan berdoa, semoga yang terbaiklah yang terjadi. Semoga LIS kuat menghadapi terpaan angin kencang…
Gigi
Gigi terpelihara baik, bersih, rapi, tidak keropos tentu membahagiakan pemiliknya. Bebas tersenyum, proses makan (mengunyah) tidak terganggu, dan bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas.
Coba bayangkan kalau gigi depan ompong, merusak penampilan, dan akan sulit melafalkan beberapa huruf (terutama “F” dan “V”). Belum lagi rasa sakit karena gigi berlubang. Biasanya cepat emosi, rasanya ingin marah saja.
Ketika masih kecil, penulis menangis waktu diolok-olok ompong. Kala itu 2 gigi seri depan bagian atas copot. Terbayang akan ompong, malu. Untungnya, setelah sekian lama, tumbuh lagi 2 gigi seri baru (yang bertahan hingga kini).
Yang copot itu ternyata gigi susu, bukan gigi permanen. Biar terawat dengan baik, akhirnya gigi susu memang harus lepas dan digantikan gigi baru yang permanen. Semua anicca, tidak ada yang kekal, begitu yang dibabarkan Sang Buddha.
Ketidakkekalan ini berlaku pada apa saja. Harta, kecantikan, jabatan, dan yang lain. Seperti halnya kepengurusan dalam organisasi. Suatu saat, masa kepengurusan berakhir. Pengurus lama digantikan pengurus baru (regenerasi). Itu proses yang alami. Seperti halnya kepengurusan di PVVD. Begitu juga redaksi BVD yang sudah setahun menjalankan tugasnya secara rutin menerbitkan BVD.
Yang terpenting, kita sudah melaksanakan tugas dengan baik. Ada kekurangan di sana sini adalah hal yang wajar. Kita semua dalam proses belajar yang tiada henti. Terima kasih kepada pengurus lama, selamat datang dan berkarya pengurus baru (PVVD, khususnya BVD). Semoga pergantian ini merupakan proses menuju yang lebih baik, seperti halnya gigi susu yang digantikan gigi permanen.
Buat pengurus lama:
Terima kasih atas kerja kerasnya. Masih banyak
ladang Dhamma lain menantikan taburan
benih Buddha Dhamma Anda.
*************************
Darah
Peristiwa menjelang kelahiran anak pertama terulang lagi menjelang kelahiran anak ke-2 kami. Pada persalinan ke-2 ini, juga akan dilakukan bedah caesar karena pertimbangan medis. Dokter menyarankan Linda (istri penulis) agar segera dirawat inap Jumat, 03-02-2006. Bayi dalam kandungan sudah cukup umur, besok pagi (08.00 WIB) siap dilahirkan.
Dokter meminta stok 2 labu darah O rhesus + (positif). Ini untuk jaga-jaga saja. Saat menjelang operasi caesar anak pertama kami, dokter juga meminta 2 labu darah, meskipun akhirnya tidak terpakai. Menjelang kelahiran anak pertama, semua berjalan lancar. Penulis mendapat surat dari pihak rumah sakit untuk mengambil darah di kantor PMI Jl. Aceh, Bandung. Saat istri masuk ruang operasi, penulis mengendarai motor ke PMI. Tanpa ada kendala, penulis mendapatkan 2 labu darah o rhesus +.
Tapi kali ini, tidak selancar dulu. Seorang rekan istri ke PMI dengan membawa surat dari rumah sakit. Sampai di sana, ternyata PMI tidak punya stok darah yang kami butuhkan. Kami harus mencari 2 donor. Donor harus hadir di sana paling lambat 20.30 WIB, padahal saat itu sudah sekitar 17.30 WIB. Via SMS, penulis minta bantuan rekan-rekan aktivis vihara Vimala Dharma untuk mencarikan donor. Istri penulis juga melakukan hal sama.
Ada satu hal lagi yang lebih membebani psikologis (terutama istri), info dari PMI darah yang didonor baru bisa diambil besok sekitar 15.00 WIB. Darah yang didonor harus melalui proses (diteliti layak atau tidak), dan baru selesai sekitar pukul 15.00 WIB, sedangkan istri akan dioperasi 08.00 WIB!
Penulis menelpon ke PMI, tidak ada solusi. Kami harus tetap mencari donor, dan berharap besok pagi ada stok darah siap pakai yang bisa ditukar dengan darah yang baru didonor. Penulis menghubungi suster agar menyampaikan masalah ini ke dokter. Adakah solusinya? Kalau pihak rumah sakit tidak punya stok darah, bukankah lebih baik operasi ditunda menjadi di atas pukul 15.00 WIB? Kami tidak ingin “gambling” untuk urusan nyawa. Meski dulu stok darah yang disiapkan tidak terpakai, bukan berarti kali ini operasi harus tetap berlangsung tanpa stok darah untuk berjaga-jaga.
SMS masuk dari rekan Willy Yanto W., ada seorang umat (0818 XXXX 8380) siap jadi donor. Penulis minta agar donor segera saja ke PMI. Beberapa saat kemudian Nenli memberi kabar, ada 5 orang dari vihara siap jadi donor. Karena sudah ada 1 donor, maka diputuskan hanya 1 saja yang berangkat ke PMI. Bu Elly (teman istri) juga mengabarkan bahwa beliau sudah menyampaikan berita ini (butuh donor) kepada rekan-rekan lain. Sambil menunggu respon, beliau membacakan paritta Angulimala dari rumahnya via telpon dan mengajak kami ikut berkonsentrasi. Beliau juga menenangkan Linda (penulis yakin, dari suara di telpon, beliau tahu Linda menangis menghadapi situasi ini). Akhirnya datang kabar dari pihak rumah sakit, mereka punya stok 1 labu yang siap pakai.
Sesuai rencana, operasi dilakukan Sabtu pagi. Operasi berjalan lancar. Revata Dracozwei Jan (Ray), putra ke-2 kami lahir 04 Februari 2006, pukul 08.57 dengan berat 4,75 kg, panjang 53 cm. Stok darah yang dari rumah sakit tidak terpakai. Juga 2 labu darah yang didonorkan, tidak pernah penulis ambil (sekitar 09.30 WIB operasi selesai, sedangkan darah baru bisa diambil sekitar 15.00 WIB). Tapi bukan berarti darah yang didonorkan tidak bermanfaat, penulis yakin, darah itu akan menyelamatkan nyawa orang lain.
Sebuah pelajaran berharga dapat dipetik dari peristiwa ini. Betapa mulianya para pendonor darah. Seperti kita ketahui, meski dunia kedokteran sudah demikian maju, tapi belum ditemukan cara membuat darah. Darah hanya dapat dihasilkan tubuh manusia. Dan dari para pendonor (pahlawan kemanusiaan) inilah, begitu banyak nyawa terselamatkan. Untuk kasus kami (operasi caesar), stok darah “tidak terlalu” urgent (maksud penulis, operasi masih bisa ditunda beberapa jam kemudian, sampai stok darah ada). Tapi bagaimana dengan kasus lain (kecelakaan misalnya)? Korban tidak bisa menunggu, darah dibutuhkan saat itu juga. Setiap detik jadi sangat bernilai, dan itu bisa berarti sebuah nyawa terselamatkan atau sebuah keluarga harus kehilangan orang yang mereka cintai.
Penulis terharu dengan respon yang diberikan rekan-rekan se-Dhamma, khususnya menjelang kelahiran putra ke-2 kami. Terima kasih tak terhingga atas segala bantuannya. Penulis jadi teringat syair lagu “Kasih Ibu” karya S.M. Moechtar yang ditampilkan di situs www.ehipassiko.net pada pengantar kolom “Pengasuh”
Sebuah ujar-ujar mengatakan: “Semangat terdahsyat adalah semangat relawan.” Keberadaan yayasan dan situs ini membuktikan kesahihan pepatah tersebut. Ehipassiko Foundation terdiri dari para relawan yang mensinergikan sumber daya dengan semangat "hanya memberi, tak harap kembali."
Note: Selamat datang buah hati kami:
REVATA DRACOZWEI JAN (Ray), 04 Februari 2006.
*************************
Ada berita mengejutkan bagi kita di awal tahun 2006 ini. Banyak sekali makanan yang tidak layak makan beredar di sekitar kita.
Ayam potong yang direndam formalin (pengawet mayat) dan pewarna pakaian (yang seharusnya tidak boleh dimakan) agar awet dan dagingnya terlihat bagus. Astaga! Itu baru sebagian, masih ada berita heboh lain lagi. Bakso juga banyak yang menggunakan formalin supaya tahan lama, boraks biar kenyal, dan daging tikus sebagai bahan bakunya. Sudah cukup? Ternyata belum. Mie basah, tahu, ikan asin juga menggunakan formalin sebagai pengawet.
Anda penggemar mie ayam yang sering dijajakan keliling. Harganya murah, rasanya enak, kata sebagian teman. Jajanan mie ayam ini benar-benar komplit “nutrisinya.” Mie dan baksonya pakai formalin, ada daging ayam tiren (mati kemaren), atau daging ayam yang direndam formalin dan pewarna pakaian. Mungkin juga baksonya terbuat dari daging tikus dan berisi urat tikus. Saos tomatnya kurang lebih sama. Namanya saos tomat, tapi sama sekali tidak menggunakan tomat sebagai bahan bakunya. Bahannya cabe yang sudah busuk (ada belatung), pepaya, waluh (labu) yang sudah busuk, dan… pewarna pakaian.
Bukan hanya itu, jajanan anak-anak (terutama yang warnanya berpendar), harganya murah, banyak mengandung zat-zat berbahaya. Apa jadinya kita dan generasi mendatang bila banyak sekali racun dijual bebas dengan bentuk yang menggoda selera.
Begitu banyak racun yang beredar, kita harus selektif. Kalau Anda sebagai orang tua dan punya anak yang masih kecil, siapkan bekal yang sehat untuk ke sekolah. Jangan biarkan jajan sembarangan.
Konsumen mengeluh, bingung memilih mana makanan yang layak dikonsumsi. Banyak pula pedagang (pedangang bakso, tahu, ikan asin, ayam, dan mie basah), yang mengeluh. Dagangannya tidak laku. Kalau dibiarkan terus, mereka akan bangkrut. Di Kalimantan, ada pedagang mie ayam yang terpaksa berpromosi dengan cara membagikan mie ayam secara gratis dan meyakinkan dagangan mereka layak dikonsumsi.
Apa yang harus dilakukan pemerintah? Pemerintah lewat Badan POM (Pengawas Obat & Makanan) dan instansi lain yang terkait harus melakukan kontrol secara rutin. Kontrol tidak hanya dilakukan sekali saat mengurus ijin usaha. Selalu melakukan pengujian dengan waktu dan sampel yang diambil secara acak. Penyuluhan dilakukan, nantinya juga perlu tindakan hukum bagi yang melanggar.
Mudah-mudahan para ahli, bisa menemukan alat pendeteksi kandungan formalin, boraks, dan bahan kimia berbahaya bagi tubuh yang mudah digunakan. Cukup diteteskan makanan ataupun minuman tersebut, dalam sekian detik kita bisa tahu hasilnya. Ya, semacam alat tes kehamilan dan tes kadar asam/ basa suatu benda. Selain praktis, juga murah.
Ibarat pepatah tentang buah nangka. Ulah sebagian kecil orang yang menggunakan bahan beracun untuk produk makanan (entah karena ketidaktahuan atau memang tidak mau tahu), merugikan banyak orang. Dia makan nangkanya, orang lain kena getahnya.
Mudah-mudahan momen ini bisa jadi awal yang baik bagi bangsa ini. Kita sering kali tidak terlalu peduli dengan hal semacam ini. Kalau efeknya tidak langsung mematikan, masalahnya akan hilang bersama waktu yang berlalu. Setelah hilang dari pemberitaan, kita cuek dan makan lagi tanpa rasa takut (juga pembuatnya, tanpa rasa bersalah pakai lagi bahan yang dilarang). Sama halnya ketidakpedulian masyarakat kita pada bahaya asap rokok.
Meski terpasang tulisan, “Dilarang merokok di area ini” para perokok dengan santainya tetap merokok. Seperti yang penulis alami beberapa hari lalu. Di food court BSM (Bandung Super Mall) adalah daerah terlarang untuk menyalakan rokok. Tetap saja mereka merokok, tanpa peduli ada orang lain (termasuk bayi dan balita) yang kesehatannya akan terganggu. Petugas yang ada juga hanya diam. Kapan sanksi (hukuman) akan diberlakukan bagi perokok yang bandel?
*************************
Kelinci
“Kelinciku kelinciku, kau manis sekali, melompat kian ke mari, sepanjang hari, aku ingin bersamamu, sepulang sekolah,…” pernah dengar lagu itu? Lagu ini mengingatkan penulis pada 3 ekor kelinci yang dulu pernah penulis pelihara.
Saat kecil (SD), penulis sering ikut Mama ke pasar. Nah… suatu hari, penulis melihat ada yang berjualan kelinci. Penulis merengek minta dibelikan kelinci. Setelah janji akan rajin memberi makan, akhirnya Mama membelikan seekor kelinci (memang saat itu yang ada di penjual hanya 1 ekor). Warna kelinci itu putih campur coklat. Penulis rajin memberi makan “kupasan kol” (lapisan sayur kol terluar yang tua dan dibuang pedagang sayur). Jadi tidak perlu beli, bermodal kantong kresek, tinggal ambil saja (asal tidak malu). Kadang bareng Mama yang belanja, kadang pergi sendiri.
Suatu hari kelinci itu mati, entah karena tua atau sakit (sudah lupa). Tentu saja penulis sedih (menangisi kepergian kelinci). Tak lama setelah itu, penulis melihat lagi ada yang menjual kelinci. Penulis kembali minta dibelikan dan janji akan merawatnya. Mama membelikannya, kali ini warnanya putih bersih dan sepasang.
Mula-mula penulis rajin memberi makan (mengambil sayur kol dari pasar), tapi lama-lama mulai malas. Mungkin karena sudah agak besar, sehingga malu jadi “pemulung.” Terpaksa Mama yang menggantikan tugas penulis. Kalau tidak ke pasar, kelinci diberi nasi atau makanan lain yang ada di rumah.
Suatu hari, peristiwa itu terulang lagi. Sepasang kelinci putih itu mati. Sebelum mati, penulis pernah melihat kelinci itu menggali lubang di tanah, kemudian mencabut bulu-bulu di badannya dan meletakkan di lubangnya. Kali ini penyebab kematian sepasang kelinci adalah kurang makan, bukan sakit atau tua!
Penulis merasa sangat bersalah. Terlebih lagi, setelah tahu kelinci menggali lubang dan mencabut bulu-bulu di tubuhnya adalah persiapan untuk melahirkan anaknya! Jadi bukan hanya 2 nyawa kelinci yang melayang.
Sejak saat itu, timbul kesadaran. Kesukaan kita (baca: penulis dan mungkin juga sebagian dari Anda) pada sesuatu, sering tidak bertahan lama (lama-lama bosan). Waktu binatang masih kecil (entah kucing, anjing, atau yang lain), terlihat lucu, imut, menggemaskan, menyenangkan dan tidak merasa direpotkan). Tapi seiring berjalannya waktu, kita merasa bosan dan akhirnya peliharaan itu disia-siakan. Kalau kesukaan/ hobby pada benda mati (prangko, koleksi mainan atau barang lain), mungkin tidak jadi masalah.
Sejak saat itu, penulis berjanji dalam hati, tidak akan memelihara binatang lagi. Pertama takut bosan, lalu menelantarkan binatang peliharaan sehingga nantinya dikejar rasa bersalah. Kedua: suatu saat, pasti dia akan mati dan penulis akan menangisi kepergiannya. Ketiga: kalau binatang peliharaan itu karnivora (pemakan daging) seperti ikan arwana, itu akan jadi problem baru bagi seorang Buddhis. Penulis tidak ingin hal itu terjadi lagi. Belum lagi penyakit yang ditularkan oleh hewan seperti rabies, tokso plasma, flu burung, dan yang lainnya.
Sekarang, bila melihat kelinci, penulis masih sering teringat sepasang kelinci putih dan calon anak-anaknya yang tersia-sia. Semoga saja kejadian itu tidak akan terulang lagi.
*******
Selamat Hari Metta
01 Jan 2006
*************************
Tupai
“Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga” begitu kata pepatah. Sepandai-pandainya pelaku kejahatan (baca: teroris) bersembunyi, akhirnya “tertangkap” juga. Rabu (09-11-2005) jadi hari penting bagi kepolisian Indonesia. Hari itu, Dr. Azahari yang merupakan tokoh yang paling dicari pihak kepolisian Indonesia (juga Malaysia) setelah serangkaian kasus peledakan bom yang jadi “acara tahunan” di Indonesia beberapa tahun terakhir, akhirnya harus “jatuh” juga. Ini kaleidoskop peledakan bom di Indonesia: 12 Oktober 2002 bom Bali, 05 Agustus 2003 bom di depan hotel J.W. Marriot, 09 September 2004 di depan kedutaan besar Australia, dan 01 Oktober 2005 bom Bali 2.
Tugas kepolisian belum selesai. Karena belum semua tertangkap. Masih banyak pekerjaan rumah pihak kepolisian (yang tentunya harus dibantu masyarakat Indonesia). Tapi untuk sementara masyarakat Indonesia bolehlah berlega hati karena sekitar 30 bom yang sedang dirangkai berhasil diamankan. Kalau angka 30 itu jumlah kembang api untuk memeriahkan acara malam tahun baru, mungkin asyik. Tapi coba bayangkan angka 30 itu bom yang bisa meledak kapan saja dan di mana saja. Akan ada banyak sekali korban jiwa dan harta benda.
Kalau masih banyak penjahat (teroris) berkeliaran, tidak ada tempat yang aman, termasuk kota Amman (Yordania) yang baru-baru ini juga diguncang bom bunuh diri (seorang musisi Indonesia termasuk salah satu korbannya). Seorang reporter berita mengatakan, Dr. Azahari akhirnya kena batu-nya di kota Batu, Malang. Dan penulis “menangkap” sebuah angka yang unik juga berhubungan dengan bom. Bom paling menggemparkan terjadi saat gedung WTC di AS ditabrak pesawat dan tewasnya Dr. Azahari. Gedung WTC runtuh 11-09, Dr. Azahari “runtuh” 09-11. Sebuah kebetulan yang langka.
Apa pelajaran yang dapat kita petik? Segala sesuatu yang kita lakukan, pasti ada akibatnya. Main air basah, main api hangus. Apalagi “permainan” yang memakan korban ratusan jiwa manusia. Bagi kita, di mana pun kita berada, kapan pun perbuatan buruk kita lakukan, hukum karma tetap berlaku. Entah sekarang, entah nanti, kita sendiri akan memetik buahnya.
Kita semua tidak berharap “sang tupai” nantinya akan jatuh sendiri (seperti kata pepatah), tapi kita sangat berharap pihak kepolisian bersama peran aktif masyarakat mampu menghentikan aktivitas “sang tupai” sebelum “sang tupai” menambah panjang daftar korban ledakan bom di tanah air.
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. (Dhammapada I, 1)
*************************
Bom 2
Sudah jadi semacam ”tradisi” bila suatu produk laku di pasaran, akan banyak produk pengekor. Produk air mineral laku, lalu bermunculan produk tersebut dalam berbagai merek. Kalau dalam bidang musik atau film, akan muncul sekuel-nya. Sebuah judul film laris (misalnya Speed), maka akan muncul kelanjutan ceritanya (Speed 2). Sebuah lagu laris di pasaran, selain memunculkan banyak lagu yang bernada mirip (misalnya saat demam lagu Malaysia, penyanyi asli Indonesia pun ada yang menyanyikan lagu dengan lirik bahasa Malaysia). Sebuah lagu meledak di pasaran, menggoda sang pencipta lagu untuk memunculkan jawaban untuk lagu tersebut (meskipun judul dan isi lagu pertama bukanlah pertanyaan). Sah-sah saja dalam dunia bisnis. Semua orang ingin untung, salah satu caranya adalah mengikuti selera pasar.
Sabtu (01 Oktober 2005) jadi peristiwa tak terlupakan bagi kita. Selama ini, kita hanya mengingat 1 peristiwa, tanggal 01 Oktober adalah hari kesaktian Pancasila. Tapi tahun ini ada 2 peristiwa besar pada 01 Oktober. Pertama: kenaikan harga BBM di atas 100%, dan kedua: meledaknya 3 bom di daerah Jimbaran dan pantai Kuta, Bali (yang oleh pers disebut Bom Bali 2). Sekira 23 orang meninggal, dan sekira 100 orang terluka!
Sebagai manusia yang beradab, kita mengutuk perbuatan teroris. Seperti yang pernah penulis ungkapkan pada Introspeksi Sept 2004: Bom, saat meledaknya bom di depan kedutaan besar Australia, di daerah Kuningan, Jakarta, “Kita semua berharap bom di depan kedubes Australia ini adalah kejadian yang terakhir (seperti juga harapan kita saat terjadi ledakan di Bali dan di depan hotel JW Marriot). Semoga harapan kita kali ini benar-benar menjadi kenyataan.” Ternyata itu hanya harapan. Sekali lagi bangsa ini harus menangisi kepergian saudara-saudaranya karena ledakan bom.
Bukan hanya bangsa kita yang mengutuk tindakan teroris, sebagian besar penduduk dunia sependapat. Mari hentikan tindakan kekerasan untuk tujuan apa pun. Sekali lagi kita berharap dan berdoa, semoga ledakan Bom Bali 2 ini adalah peristiwa peledakan bom untuk yang terakhir kalinya. Sebagian besar orang di dunia mengutuk dan membenci tindakan terorisme, seharusnya tidak ada lagi ledakan lanjutan (sekuel-nya) seperti film yang laris di pasaran. Semoga ini bukan harapan, tapi kenyataan.
*************************
Banteng
Tanggal 15 Agustus 2005 ditandatangani perjanjian damai RI-GAM di Helsinki, Finlandia. Itu catatan sejarah penting menyambut HUT ke-60 Republik Indonesia. Sekitar sebulan sebelum itu, tepatnya 23 Juli 2005 di Candi Borobudur berlangsung acara “Sejuta Pelita Sejuta Harapan.” Doa bersama demi keselamatan bangsa dan negara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut 50 Tahun MBI (Majelis Buddhayana Indonesia).
Dalam catatan sejarah, tidak ada peperangan yang membawa kebahagiaan. Hanya penderitaan yang ada. Ribuan orang kehilangan harta, saudara tercinta (anak, istri, suami, orang tua,…), pembangunan terhambat, dan berbagai akibat buruk lain yang ditimbulkan perang.
Semoga setelah perjanjian damai, rakyat Aceh bisa beraktivitas seperti saudara-saudaranya di wilayah lain. Bebas beraktivitas tanpa perasaan takut terkena peluru nyasar. Anak-anak juga bisa bersekolah dan bermain seperti anak-anak lain menikmati masa kecilnya. Betapa indahnya hidup berdampingan secara damai.
Di sisi lain, ada beberapa tayangan TV yang membuat penulis merenung. Ada berita pembantaian penyu yang diambil kulitnya untuk dijadikan hiasan, ada atraksi adu domba, adu kuda, sabung ayam, dan adu bagong (seekor babi harus menghadapi serangan 2-3 ekor anjing).
Ada satu lagi yang mengusik perhatian penulis. Tayangan kisah nyata seekor banteng yang menyeruduk orang, lalu membawa korban yang masih tersangkut di tanduknya ke tempat sepi. Sang korban yang sudah tak berdaya karena berkali-kali kena tanduk banteng, dan dijadikan “sandera” oleh banteng yang marah. Banteng itu panik dan merasa terancam oleh sekian ratus manusia, makanya “ia” mengamuk untuk mempertahankan hidupnya.
Kita kasihan melihat sang korban. Tapi semestinya kita merasa lebih kasihan pada banteng. Banyak kejadian (mengamuknya hewan, entah buas ataupun hewan peliharaan yang jinak, termasuk “mengamuknya” alam), sebenarnya akibat ulah manusia sendiri.
Tayangan banteng ngamuk tadi berasal dari tradisi di sebuah negara. Puluhan banteng dilepas di jalan-jalan kota, ratusan orang berlarian di depannya. Para peserta merasa hebat kalau mampu “mengalahkan” banteng.
Kita tahu banyak “permainan” yang menjadikan hewan sebagai pemuas kesenangan manusia. Kalau sekedar dipamerkan untuk melihat kecepatan lari kuda, kecerdasan anjing melakukan atraksi, kepandaian beruang naik sepeda,… masih bisa dimaklumi. Tapi banyak “permainan” yang menjadikan hewan sebagai korban (disiksa). Sebut saja adu jangkrik, ikan cupang, sabung ayam, adu domba, adu kuda, dan yang lain.
Manusia yang bertikai/ berperang berupaya mencari jalan untuk damai. Manusia tahu, perang hanya menghasilkan penderitaan, bukan kebahagiaan. Tapi anehnya, ada sebagian orang justru gemar mengadu hewan untuk dijadikan tontonan. Gemar melihat makhluk lain tersiksa, berlumuran darah, bahkan mati. Kita tahu, semua makhluk (bukan hanya manusia) ingin hidup bahagia. Sebagai seorang Buddhis, semestinya kita tidak ikut terlibat dalam permainan yang menyiksa makhluk hidup. Entah itu hanya semut, jangkrik, ikan cupang, ayam, domba, kuda, banteng, atau yang lain. Sungguh, damai itu indah…
*************************
Panjat Pinang
Ada banyak acara yang diadakan pada perayaan 17 Agustus. Beberapa di antaranya: panjat pinang, balap karung, lomba makan kerupuk, sendok kelereng, menangkap belut, memasukkan paku ke dalam botol, dan acara lainnya. Tapi yang jadi ciri khas perayaan kemerdekaan RI adalah panjat pinang. Acara ini identik dengan perayaan 17 Agustus. Kalau mendengar kata “panjat pinang” yang terlintas dalam benak penulis adalah perayaan 17 Agustus.
Tahun ini, adalah perayaan HUT RI yang spesial. Mengapa? Pertama karena usianya tepat 60 tahun, kedua karena 2 hari sebelumnya telah ditandatangani perjanjian damai RI-GAM di Helsinki, Finlandia. Semoga saja konflik yang sudah berlangsung hampir 30 tahun benar-benar berakhir. Rakyat Aceh bisa merayakan proklamasi kemerdekaan dengan rasa merdeka (baca: bebas). Bebas dari rasa takut akan perang saudara yang selama ini menghantui. Anak-anak bisa bebas bermain tanpa khawatir terkena peluru nyasar, bisa pergi sekolah dengan tenang tanpa takut sekolah mereka dibakar.
Mari kita bercermin dari kegiatan panjat pinang yang selalu dilaksanakan pada 17 Agustus. Pada satu pohon pinang berkerumun banyak orang. Peserta panjat pinang ini bisa diibaratkan rakyat Indonesia. Hadiah yang tergantung di atas pohon pinang adalah cita-cita bangsa kita. Kita lihat mereka bahu-membahu agar bisa mencapai puncak dan meraih hadiah. Setelah tiba di atas semua hadiah diambil, lalu dibagi rata.
Peserta panjat pinang harus bersatu. Yang tubuhnya paling besar dan kuat berada di bawah (membiarkan tubuhnya diinjak rekan lain untuk naik), yang berbadan kecil bertugas naik dan mengambil hadiah. Tiap orang punya tugas masing-masing.
Coba Anda bayangkan bila semua ingin mencapai puncak, tak ada yang mau menjadi “tangga” bagi rekan lainnnya. Atau semua peserta tidak bersatu tapi saling sikut, saling berebut. Peserta lain bukan rekan satu tim tapi musuh yang harus disingkirkan. Bukan hadiah yang akan didapat, tapi perkelahian yang terjadi. Siapa yang menang? Peribahasa mengatakan “Menang jadi arang, kalah jadi abu.” Tidak ada yang menang dalam sebuah pertempuran.
Mudah-mudahan perjanjian damai RI-GAM jadi titik awal bersatunya rakyat Indonesia, hidup berdampingan secara damai. Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke (termasuk mantan anggota GAM) bisa bersama-sama, bahu-membahu memanjat pohon pinang demi mendapatkan hadiah.
Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia!
Damailah Negeriku, Damailah Bangsaku…
Kucing
Saat pulang jalan-jalan sore bersama Dhika, penulis melihat seekor kucing sedang menggali-gali pasir mengubur sesuatu. Dengan melihat selintas saja kita sudah tahu, si kucing baru selesai buang kotoran. Aha… ini judul introspeksi kita bulan ini.
Konon menurut fabel (cerita tentang hewan), tingkah laku kucing mengubur kotorannya adalah untuk menghilangkan jejak dari kejaran musuhnya. Musuhnya (kalau penulis tak salah ingat, adalah anjing). “Ke mana pun engkau pergi, akan kucari” ancam anjing. Dengan ketajaman penciumannya, anjing bisa mengetahui keberadaan kucing (termasuk dari bau kotoran kucing). Itulah sebabnya si kucing harus berhati-hati, agar aman, setelah buang kotoran, ia harus menguburnya agar tak tercium oleh anjing.
Pada cerita tadi, kita bisa meniru sifat hati-hati/ waspada dari seekor kucing. Anjing dalam fabel tadi, bisa jadi pencuri di kehidupan kita. Kita harus hati-hati menyimpan harta kita agar tidak jadi incaran pencuri.
Ada satu cerita lagi tentang kucing dari fabel yang pernah penulis baca. Konon dulu kucing dan harimau berteman baik (maklum, mereka memang masih 1 keluarga). Dalam kesehariannya, meski bertubuh kecil, kucing jauh lebih hebat daripada harimau. Cara berburu mangsa, berlari cepat tanpa menimbulkan suara, dan banyak lagi kehebatan kucing.
Harimau ingin seperti kucing. Maka harimau meminta pada kucing agar mengajarinya. Sebagai keluarga, dengan senang hati kucing pun bersedia mengajari jurus-jurus yang ia miliki.
Suatu hari, harimau merasa proses belajarnya pada kucing sudah selesai. Apa yang bisa dilakukan kucing, bisa pula dilakukannya. Timbul niat jahatnya. Habis manis, sepah dibuang. Harimau ingin menyantap daging kucing. Tentu mudah untuk memangsa kucing yang badannya jauh lebih kecil, pikir harimau. Tiba-tiba saja harimau menerkam kucing. Untung saja kucing waspada. Dengan gesit kucing menghindar, lalu kucing memanjat pohon. Tinggallah harimau di bawah pohon menatap buruannya yang berhasil lolos.
Ternyata sejak awal, kucing sudah menaruh curiga pada harimau. Kalau semua jurus diajarkan kepada harimau, ia tak bisa melawan bila diserang. Tenaganya jauh bila dibandingkan dengan harimau, maka kucing pun berinisiatif menyimpan satu jurusnya (memanjat pohon) yang tidak diajarkan kepada harimau. Ternyata dugaannya benar.
Kucing mengajarkan kita agar berhati-hati/ waspada terhadap sekeliling kita. Kucing juga mengingatkan penulis pada nasehat Bang Napi, yang hadir di segmen akhir sebuah berita kriminal “Ingat kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah… waspadalah…”
*************************
Semut 3
Minggu (05-06-2005) siang udara panas menyengat. Penulis sedang mengantri bensin di sebuah SPBU di daerah Kopo. Semua motor antri secara teratur. Sebuah contoh yang bagus, pikir penulis. Tiba-tiba sebuah motor bebek yang dikendarai pemuda tanpa helm nyerobot antrian. Ia tidak ikut antrian yang lumayan panjang, langsung stop di samping motor yang sedang isi bensin. Semua mata melotot ke arahnya, ia cuek saja. Tidak ada yang bereaksi, hanya memandang dengan tatapan tidak senang. Sang pemuda tetap cuek.
Tiba-tiba seorang bapak berkumis tebal yang mengendarai Vespa berteriak keras dalam bahasa Sunda, yang kurang lebih artinya seperti ini. “Hei… antri!!! Kamu tidak lihat yang lain panas-panas antri, kamu nyelonong mau duluan” hardik bapak itu. “Pak cuma lima ribu” jawab sang pemuda membela diri. “Hei… kamu ngerti nggak? Antri…! Antri…!” bapak itu mulai hilang kesabaran. “Jangan dikasih Bang! Kasihan yang lain” si bapak berteriak kepada petugas. Melihat tidak ada tanda-tanda sang pemuda akan mundur, si bapak siap-siap turun dari motornya. Sang pemuda ngacir…
Pengalaman orang menyerobot antrian di SPBU (juga di tempat lain) sudah sering penulis alami. Tapi tidak banyak kasus yang berakhir seperti tadi. Sebagian besar “merelakan” gilirannya diserobot orang lain sambil ngedumel atau menatap tidak senang. Sikap toleransi bangsa kita memang tinggi. Termasuk setiap hari “merelakan” haknya menghirup udara bersih dirampas para perokok yang tidak tahu diri.
Memang kita butuh orang-orang berani seperti bapak di SPBU tadi. Sayang, sosok seperi itu masih langka. Banyak alasan untuk tetap diam (hanya ngedumel) yang memang bisa dimaklumi. Menegur orang yang tidak tahu diri (nyerobot antrian), tidak selalu berakhir “happy ending” seperti tadi. Tidak jarang hal ini akan berakhir dengan kekerasan (pertumpahan darah). Maklum saja, “si biang kerok” umumnya mau menang sendiri, nggak mau ikut aturan. Mereka salah, tapi kalau ditegur mereka marah. Bahkan mereka bisa lebih galak daripada kita.
Banyak dalih “biang kerok” membenarkan tindakan mereka. Hanya beli Rp 5.000 (apa dia pikir tanki motor lain bisa isi bensin sampai Rp 50.000?), hanya beli satu, saya buru-buru, saya ada perlu,… Apa mereka pikir orang lain tidak? Semua orang sama, ingin cepat, tidak ingin kepanasan, tidak ingin berlama-lama mengantri,…
Introspeksi diri yang paling mudah kita lakukan adalah mem-posisi-kan kita sebagai orang yang sedang mengantri. Bagaimana rasanya kalau Anda sudah berdiri berjam-jam, kepanasan, menahan haus, lapar, dan keinginan buang air kecil, serta pegal, tiba-tiba ada yang datang langsung dapat bagian lebih dulu? Itu pemandangan yang sering terjadi saat mudik lebaran. Anda pasti akan sangat geram. Begitu pula perasaan orang lain.
Di beberapa sticker yang berisi pesan agar antri, sering tertera gambar bebek. Bebek digambarkan sebagai contoh pengantri yang baik. Tapi bagi penulis, semut lebih tepat. Bebek masih mungkin menyusul bebek lain saat digiring mencari makan ataupun pulang ke kandang. Coba lihat semut, mereka berjalan dalam iringan yang rapi (hanya ada 1 barisan), dan tidak ada yang berusaha mendahului rekan di depannya (mirip pesan di kaca belakang bis kota: sesama bis dilarang saling mendahului).
Kita harus malu (kalau jadi “biang kerok” dalam antrian) melihat makhluk kecil bernama semut. Tidak salah kata syair lagu “Kisah Kasih di Sekolah” karya Obbie Mesakh “Malu aku malu, pada semut merah, yang berbaris di dinding…..”
*************************
“Mendidik anak sama seperti bermain basket” itu kalimat yang diucapkan papa kepada penulis sekitar dua puluh tahun silam. “Apa maksudnya?” tanya penulis kala itu. “Kita harus pandai-pandai mengambil sikap dalam mendidik anak. Jangan terlalu keras, jangan pula terlalu lemah. Seperti posisi pemain basket saat men-drible bola. Semakin kuat kita “memukul/ menepak” bola basket, semakin kuat bola itu memantul. Kita keras/ kasar pada anak, ia akan jadi pemberontak. Bila terlalu lemah kita “menepak” bola basket, pantulannya pun makin rendah dan tidak akan sampai ke telapak tangan kita. Segala yang ekstrim tidak baik,” jelas papa.
Tak terasa, dua puluh tahun telah berlalu, kini penulis telah menjadi ayah dari seorang anak laki-laki. Nasehat itu kembali terngiang di telinga. Maaf, meski gemar menulis, penulis termasuk orang yang agak malas membaca buku (ini bukan contoh yang baik). Belum banyak membaca buku-buku Dhamma yang penulis baca. Tapi mendengar ucapan papa, mengingatkan penulis pada ajaran Sang Buddha. Sang Buddha tidak mengajarkan jalan yang ekstrim (baik ekstrim kiri maupun kanan) tetapi mengajarkan jalan tengah. Pangeran Siddhattha mencapai penerangan sempurna/ menjadi Buddha juga bukan dengan jalan ekstrim seperti bertapa menyiksa diri.
Begitu juga pengalaman ketika penulis berhadapan dengan Dhika (anak kami yang kini berusia 1,5 tahun). Sekarang ini, Dhika sedang aktif bereksplorasi dengan benda-benda di sekitarnya. Sering ia melempar benda yang dipegangnya. Ketika memegang remote TV, penulis bilang “Jangan dibanting ya?” Apa reaksinya? Remote justru dibanting. Kok dilarang justru seperti disuruh? Lantas terpikir, bagaimana kalau diberi arahan ekstrim? “Ayo banting.” Siapa tahu justru tidak dibanting. Ternyata hasilnya sama, tetap saja dibanting.
Ketika berhadapan dengan manusia, kita diharapkan bersikap bijaksana. Karena tidak ada satu formula umum yang bisa berlaku pada semua manusia. Semua manusia itu unik, butuh penanganan yang spesifik. Apa yang cocok pada anak orang lain, belum tentu cocok pada anak kita. Ini pengalaman yang kami (penulis dan istri) petik saat mengasuh Dhika. Ini memang fase si kecil bereksplorasi, melatih inderanya. Mencoba segala sesuatu untuk mengetahuinya. Kami harus berhati-hati meletakkan benda-benda yang mudah pecah dan dapat membahayakan keselamatan si kecil. Ini fase biasa yang akan dialami anak, seperti ia juga pernah mengalami fase oral, semua barang dimasukkan ke mulut. Perlu pengawasan dan kesabaran ekstra dari orang tua.
Anak seusia Dhika cepat sekali meniru, ini yang perlu diwaspadai. Apa yang kami lakukan dengan cepat ditirunya. Untuk itu, kami harus hati-hati (baik dalam ucapan maupun perbuatan). Kami mengucapkan sebuah kata, dengan cepat ia menirunya meski belum sempurna. Begitu juga ketika kami memberi contoh tepuk tangan, dengan cepat ia bisa tepuk tangan. Orang tua harus dapat menjaga ucapan dan perbuatan, karena ini akan ditiru/ diteladani anak.
Saat ia masih dalam kandungan, kami sudah mempersiapkan nama (baik untuk laki-laki maupun perempuan). Untuk anak laki-laki kami siapkan Anathapindika Dravichi Jan (Anathapindika adalah salah satu murid Sang Buddha yang terkenal dengan kedermawanannya) dengan harapan ia meneladani sifat dermawan murid Sang Buddha tersebut. Kami bersyukur di usia dini Dhika menunjukkan sifat itu. Ketika temannya datang dan bermain bersama, ia tidak pelit untuk meminjamkan mainannya. Kami berharap cerita pengalaman kami ini berguna bagi yang lain.
Kembali ke masalah mendidik anak. Di Bulan Mei ini kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (02 Mei 2005) dan hari paling bersejarah bagi umat Buddha, Trisuci Waisak (24 Mei 2005). Ada satu lagi tugas penting orang tua, yakni memberikan pendidikan agama. Pendidikan agama haruslah diberikan sedini mungkin. Mari jadikan hari Waisak ini sebagai momen awal bagi si kecil mengenal ajaran Sang Buddha. Ajaklah mereka bersama untuk melakukan puja bakti. Di vihara ada sekolah Minggu (Taman Putra), tempat si kecil bermain sambil mengenal Dhamma. Satu hal yang sering terlupakan bagi kita sebagai keluarga Buddhis.
Selamat Hari Trisuci Waisak 2549 BE
kepada semua umat Buddha di mana saja berada
*************************
Manggis
“Mungkin enak ya kalau isi hati seseorang bisa diketahui seperti halnya buah manggis?” pikir penulis. Kita bisa tahu mana teman yang baik/ setia kawan dan mana teman yang punya niat untuk berbuat jahat terhadap kita. Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin. Kalau hal itu terjadi, hidup ini jadi monoton, tak ada surprise-nya. Ya nggak?
“Dalamnya laut dapat diukur, dalam hati siapa yang tahu?” begitu kata pepatah. Dari pengalaman hidup, pepatah tersebut memang benar adanya. Apa yang ada dalam hati seseorang susah diterka, meski terkadang kita sudah cukup lama mengenalnya. Apalagi hal ini dikaitkan dengan masalah uang. Uang bisa mengubah segalanya. Kawan bisa jadi lawan, sahabat sendiri bisa jadi menikamkan belati.
Dalam dunia sulap, ada semacam ungkapan “Tidak ada orang yang bisa dipercayai, kecuali diri sendiri.” Seorang pesulap kenamaan
Dari dunia artis ada beberapa contoh kasus serupa. Beberapa artis tertipu oleh manajernya sendiri, yang telah sekian lama dikenal dan selalu bersama ke mana pun mereka pergi.
Anda pernah menyaksikan reality show “Penghuni Terakhir” 2? Di “Beranda” Penghuni Terakhir 2 kita bisa melihat dunia kecil tentang sifat-sifat manusia. Betapa terkejutnya kita melihat sifat mereka yang bisa berubah drastis dalam hitungan minggu. Semula terlihat ia pro ke A, tapi beberapa minggu ia malah antipati pada A. Minggu sebelumnya ia terselamatkan oleh Bos X, tapi saat ia jadi Bos, si X yang duduk di kursi ekstradisi tidak diselamatkannya.
So… kita harus selalu waspada karena manusia bukan manggis yang bisa kita ketahui isinya dengan mudah.
*************************
Cincin
Dalam suatu kesempatan, seorang rekan penulis bertanya “Tahukah kamu, mengapa orang yang telah bertunangan/ menikah memakai cincin emas sebagai simbol?” Entah itu sebuah pertanyaan karena ia memang tidak tahu atau ia sedang menguji penulis. “Emas itu logam mulia dan bernilai tinggi (simbol sesuatu yang berharga). Begitu juga cinta. Kemudian emas tidak luntur ataupun berkarat seperti besi misalnya. Begitu pula cinta, diharapkan cinta mereka tidak akan luntur seiring berjalannya waktu. Trus, cincin itu bentuknya bundar/ lingkaran, tak ada ujung dan pangkalnya. Ini simbol harapan agar cinta mereka tidak akan berakhir/ selamanya (never ending love)” jawab penulis. “Seratus buat regu A, soal berikutnya untuk regu B…” rekan penulis berteriak kegirangan merasa berhasil mengerjai penulis.
Dari pengalaman penulis, memang begitulah adanya. Salah satu syarat mencapai kebahagiaan rumah tangga dan fondasi rumah tangga yang kuat adalah kesamaan keyakinan/ agama. Keyakinan yang sama membuat kita lebih mudah dalam memecahkan permasalahan yang ada.
Hendry Filcozwei Jan & Linda (2003 2005).
Sudah 2 tahun suka duka kita jalani bersama…
<< Home